PENDAHULUAN
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan) dalam
pengertian loan, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara bathil. Jadi dapat disimpulkan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjaman meminjam
secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Read More..........
Read More..........
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara
konvensional, si pemberi pinjam mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa
adanya suatu pengembang yang diterima di peminjam kecuali kesempatan dan faktor
waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini
adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus mutlak dan
pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan
sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang
menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa
saja untuk bisa juga rugi.[1]
PEMBAHASAN
A.
Larangan Riba dalam Al-Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam
Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan secara bertahap.
Ayat ini adalah tahapan kedua setelah tahap pertama QS. Ar-Rum : 39 yang
menjelaskan perbedaan kemuliaan berzakat dibadingkan riba.
QS. An-Nisa (tahap kedua) digambar
sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras
kepada orang Yahudi yang memakan riba.[2]
B.
Penjelasan
An-Nisa : 160
Kata
Kunci :
Kami
mengharamkan
$oYøB§ym
Yang baik-baik M»t7ÍhsÛ
Telah dihalalkan M¯=Ïmé&
Artinya : “Maka
disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami mengharamkan atas mereka yang
baik-baik yang telah dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi dari jalan Allah”
Ayat ini menjelaskan tentang
sekelumit rincian sanksi bagi orang-orang Yahudi, dengan menyebut utamanya
yaitu bahwa mereka berlaku zalim, tidak menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya yang wajar. Maka disebabkan kezaliman yang amat besar lagi mantap,
sebagaimana dipahami dari kata ( )
zhulmin yang menggunakan tanwin (bunyi nin) yang dierbuat oleh orang-orang yang
menganut ajaran Yahudi pada masa lalu, kami yakin Allah SWT melalui para
Rasul-Nya mengharamkan atas mereka memakan makanan yang baik-baik yang sebelum
kedurhakaan mereka itu telah dihalalkan bagi mereka dank arena penghalangan
mereka dari jalan Allah banyak orang, atau karena mereka banyak melakukan upaya
penghalangan dari jalan Allah.[3]
Maka dengan kezaliman orang-orang
Yahudi, akibatnya diharamkan atas mereka beberapa jenis makanan yang baik, yang
sebelumnya dihalalkan sebagai hukuman dan pengajaran atas perbuatan mereka.
Diharamkan dengan demikian mereka mau menghentikan kezalimannya.
Jadi tiap kali mereka melakukan
suatu maksiat, maka diharamkan jenis makanan yang baik tas mereka. Namun
demikian, mereka malah mengada-ada atas nama Allah. Mereka katakana, “Kami
bukan orang pertama yang dilarang memakan makanan yang baik itu, karena makanan
itu juga sudah diharamkan atas Nabi Nuh dan Ibrahim”.
-
An-Nisa
: 161
Kata Kunci :
Mereka
memakan
Riba
Harta
Yang
Batil
Artinya : “Dan
disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.”
Kalau ayat yang
lalu telah menyebutkan salah satu bentuk kezaliman besar mereka yaitu
menghalangi manusia menuju ke jalan Allah, maka ayat ini menyebutkan sebagian
yang lain dari rincian kezaliman itu. Yakni bahwa pengharaman sebagian dari apa
yang tadinya dihalalkan adalah juga disebabkan
mereka memakan riba, yang merupakan suatu yang sangat tidak manusiawi padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
oleh Allah dari mengambil-Nya. Dengan demikian mereka menggabungkan dua
keburukan sekaligus, tidak manusiawi dan melanggar perintah Allah. Dan karena mereka memakan harta orang dengan
jalan yang batil, seperti melakukan penipuan atau sogok menyogok, dan
lain-lain. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir diantara mereka siksa yang pedih. Yakni Ahl-Al Kitab di
akhirat kelak.[4]
Di atas terbaca
bahwa Allah mengaharmkan kepada Ahnl Al Kitab memakan rioba. Pengharaman
tersebut hingga kini masih ditemukan dalam Kitab Taurat yang ditengah
orang-orang Yahudi dan Nasrani dewasa ini dalam Kitab Perjanjian Lama keluaran
22 : 25 ditemukan tuntutan berikut : “Jika
engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari ummat-Ku orang yang miskin
diantara kamu. Maka jangnlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang
terhadap dia-dia janganlah kamu bebankan bunga yang kepadanya”
Begitu pula
dalam Kitab Ulangan 23 : 19 – 20 : “Maka
tak boleh kamu mengambil bunga dari pada Saudaramu, baik bunga uang, baik bunga
makanan, baik bunga barang, sesuatu yang dapat makan bunga. Maka dari pada
orang lain bangsa, boleh kamu mengambil bungam, tetapi dari pada Saudaramu, tak
boleh kamu mengambil riba”[5]
Di atas adalah
kata-kata Taurat yang ditulis sesudah peristiwa penawaran besar-besaran umat
Yahudi, yang dengan banyak kesaksian nyata telah dirubah. Adapun teks yang
ditulis sendiri oleh Muda sudah hilang. Hal ini umat Yahudi maupun Nasrani,
sama-sama mengakuinya sebagai Nabi mereka ada yang melarang riba sama sekali,
tanpa terkecuali, baik terhadap sesame bangsa Israil ataupun bukan.
Kesimpulan
Umat Islam
dilarang mengambil riba apapun jenisnya, larangan supaya umat Islam tidak
melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam Al-Qur’an dan
hadits Rasulullah. Salah satunya yaitu dalam QS. An-Nisa ayat 160 – 161 ini,
dalam ayat ini digambarkan bahwa riba
sebagai sesuatu yang buruk. Allah mengancam akan memberi balasan yang keras
kepada orang Yahudi yang memakan riba, dan pengharaman makanan yang disebutkan
Allah juga dikarenakan mereka memakan harta orang lain secara batil, yakni dengan
menyuap kepada penguasa dan dengan cara khianat, atau cara-cara lain untuk
mengambil harta tanpa imbalan yang berarti.
DAFTAR
PUSTAKA
Antonio Muhmmad
Syafi’i, 2001, Bank Syari’ah dari Teori
ke Praktek, Jakarta : Gema Insani.
Musthafa Ahmad,
1987, Tafsir Al-Maraghi. Semarang :
CV. Toha Putra.
Shihab
M. Quraish, 2000, Tafsir Al-Misbah,
Jakarta : Lentera Hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar