Senin, 18 Juli 2011

makalah tentang membaca

• BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permendiknas nomon 22 tahun 2006 menyebutkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Selanjutnya disebutkan pula bahwa ruang lingkup pembelajaran bahasa meliputi empat aspek keterampilan berbahasa, yaitu: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis. Dalam pembelajarannya keempat aspek keterampilan berbahasa disajikan dalam porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara terpadu. Bahan pembelajaran pemahaman diambil dari bahan mendengarkan dan membaca, yang meliputi pengembangan kemampuan untuk menyerap gagasan, pendapat, pengalaman, pesan, dan perasaan yang dilisankan atau ditulis. Bahan pemahaman tersebut mencakup pula karya sastra, baik asli Indonesia maupun terjemahan (daerah/asing). Keterampilan membaca adalah salah satu keterampilan reseptif di samping keterampilan mendengarkan. Sebagai salah satu keterampilan reseptif, membaca merupakan komponen pemahaman. Dalam kegiatan pembelajaran membaca, selain guru dituntut untuk memahami kurikulum yaitu memahami dan menguasai materi pembelajaran, guru juga harus mampu merancang pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna. Pada akhirnya, pada saat pelaksanaan pembelajaran membaca, guru tidak sekadar menugasi siswa membaca (dalam hati) kemudian mengerjakan tugas- tugas yang ada dalam wacana tersebut. Berdasarkan hal itulah, modul (suplemen) ini disusun untuk melengkapi bahan belajar mandiri (BBM) yang telah ada. Modul ini khusus tentang membaca dan pembelajarannya. Pada akhirnya, dengan membaca modul (suplemen) ini, guru akan lebih memahami konten (isi) tentang membaca dan dapat menyampaikannya dalam kegiatan pembelajaran di kelas. B. Tujuan Modul suplemen membaca ini memuat beberapa hal, yaitu: (1) konsep membaca, (2) konsep pembelajaran membaca, dan (3) perancangan pembelajaran membaca. Dengan membaca materi tentang konsep membaca, Pembelajaran Membaca – KKG 1
• diharapkan guru dapat menjelaskan pengertian, tujuan, jenis-jenis, teknik, dan tahap-tahap membaca. Selain itu juga mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi membaca. Selanjutnya, dengan membaca materi kedua tentang konsep pembelajaran membaca, diharapkan guru dapat menjelaskan konsep, karakteristik, kriteria pemilihan bahan, metode, media, dan kriteria penilaian dalam pembelajaran membaca. Pada akhirnya guru akan mampu merancang pembelajaran membaca yang dimulai dari memetakan KD membaca, menjabarkan KD menjadi indikator, menentukan materi dan sumber belajar, menentukan media pembelajaran, mengembangkan langkah-langkah pembelajaran, menentukan penilaian, dan merancang tindak lanjut setelah melakukan penilaian. C. Alokasi Waktu Alokasi waktu yang diperlukan untuk mempelajari modul suplemen membaca ini adalah 40 x 45 menit. Jumlah waktu yang tersedia tersebut dibagi sebagai berikut. No. Waktu Jenis Kegiatan 1. 10 menit Pendahuluan: Menyampaikan tujuan, alokasi waktu dan skenario pembelajaran. 2. 15 menit Brainstorming: Curah pendapat tentang membaca dan pembelajaran membaca, serta pengalaman dalam mengajarkan keterampilan membaca. 3. 50 menit Diskusi: Mendiskusikan materi dalam modul (suplemen). Peserta dibagi menjadi 3 kelompok (semua kelompok mempelajari bab I). Selanjutnya masing-masing kelompok mempunyai tugas sebagai berikut. Kelompok I: mempelajari dan mendiskusikan bab II A Kelompok II: mempelajari dan mendiskusikan bab II B Kelompok III: mempelajari dan mendiskusikan bab II C 4. 40 menit Presentasi: Masing-masing kelompok mempresentasikan ke depan, kelompok lain bertanya dan menanggapi. Fasilitator memberikan penguatan. 5. 25 menit Tanya jawab: Bertanya jawab tentang permasalahan yang belum dipahami. 6. 30 menit Simpulan: Fasilitator menyimpulkan hasil kegiatan. 7. 20 menit Penilaian: Peserta mengerjakan penilaian secara tertulis. Pembelajaran Membaca – KKG 2
• 8. 10 menit Refleksi: Mengungkapkan permasalahan yang timbul pada saat mempelajari dan mendiskusikan modul (suplemen) D. Sasaran Penulisan Modul Penulisan modul ini ditujukan untuk guru-guru SD sebagai peserta KKG pada kegiatan program BERMUTU Pembelajaran Membaca – KKG 3
• BAB II
KONSEP MEMBACA DAN PEMBELAJARAN MEMBACA
A. KONSEP MEMBACA
1. Pengertian Membaca Membaca merupakan keterampilan berbahasa yang berhubungan dengan keterampilan berbahasa yang lain. Membaca merupakan suatu proses aktif yang bertujuan dan memerlukan strategi. Hal ini didukung oleh beberapa definisi berikut ini. Hodgson (dalam Tarigan, 1985:7) mengemukakan bahwa membaca ialah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui media bahasa tulis. Dalam hal ini, membaca selain sebagai suatu proses, juga bertujuan. Depdikbud (1985:11) menuliskan bahwa membaca ialah proses pengolahan bacaan secara kritis, kreatif yang dilakukan dengan tujuan memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang bacaan itu, dan penilaian terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan dampak bacaan itu. Definisi ini sesuai dengan membaca pada tingkat lanjut, yakni membaca kritis dan membaca kreatif. Selanjutnya, Anderson dalam Tarigan (1985:7) berpendapat bahwa membaca adalah suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang- lambang bahasa tulis. Hal ini sesuai dengan membaca pada level rendah. Finochiaro dan Bonono (1973:119) menyatakan bahwa membaca adalah proses memetik serta memahami arti/makna yang terkandung dalam bahasa tulis. Batasan ini tepat dikenakan pada membaca literal. Di pihak lain, Thorndike (1967:127) berpendapat bahwa membaca merupakan proses berpikir atau bernalar. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa membaca adalah proses pengucapan tulisan untuk mendapatkan isinya. Pengucapan tidak selalu dapat didengar, misalnya membaca dalam hati. Selanjutnya, membaca merupakan aktivitas yang tidak bisa dilepaskan dari menyimak, berbicara, dan menulis. Sewaktu membaca, pembaca yang baik akan memahami bahan yang dibacanya. Selain itu, dia bisa mengkomunikasikan hasil membacanya secara lisan atau tertulis. Dengan demikian, membaca merupakan keterampilan berbahasa yang berkaitan dengan keterampilan berbahasa lainnya. Jadi, membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa, proses aktif, bertujuan, serta memerlukan strategi tertentu sesuai dengan tujuan dan jenis membaca. Syafi’ie (1999:6–7) menyebutkan, hakikat membaca adalah: (1) Pengembangan keterampilan, mulai dari keterampilan memahami kata-kata, kalimat-kalimat, paragraf-paragraf dalam bacaan sampai dengan memahami secara kritis dan evaluatif keseluruhan isi bacaan. (2) Kegiatan visual, berupa serangkaian Pembelajaran Membaca – KKG 4
• gerakan mata dalam mengikuti baris-baris tulisan, pemusatan penglihatan pada kata dan kelompok kata, melihat ulang kata dan kelompok kata untuk memperoleh pemahaman terhadap bacaan. (3) Kegiatan mengamati dan memahami kata-kata yang tertulis dan memberikan makna terhadap kata-kata tersebut berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dipunyai. (4) Suatu proses berpikir yang terjadi melalui proses mempersepsi dan memahami informasi serta memberikan makna terhadap bacaan. (5) Proses mengolah informasi oleh pembaca dengan menggunakan informasi dalam bacaan dan pengetahuan serta pengalaman yang telah dipunyai sebelumnya yang relevan dengan informasi tersebut. (6) Proses menghubungkan tulisan dengan bunyinyasesuai dengan sistem tulisan yang digunakan. (7) Kemampuan mengantisipasi makna terhadap baris-baris dalam tulisan. Kegatan membaca bukan hanya kegiatan mekanis saja, melainkan merupakan kegiatan menangkap maksud dari kelompok-kelompok kata yang membawa makna. Dari beberapa butir hakikat membaca tersebut, dapat dikemukakan bahwa membaca pada hakikatnya adalah suatu proses yang bersifat fisik dan psikologis. Proses yang berupa fisik berupa kegiatan mengamati tulisan secara visual dan merupakan proses mekanis dalam membaca. Proses mekanis tersebut berlanjut dengan proses psikologis yang berupa kegiatan berpikir dalam mengolah informasi. Proses pskologis itu dimulai ketika indera visual mengirimkan hasil pengamatan terhadap tulisan ke pusat kesadaran melalui sistem syaraf. Melalui proses decoding gambar-gambar bunyi dan kombinasinya itu kemudian diidentifikasi, diuraikan, dan diberi makna. Proses decoding berlangsung dengan melibatkan knowledge of the world dalam skemata yang berupa kategorisasi sejumlah pengetahuan dan pengalaman yang tersimpan dalam gudang ingatan. 2. Tujuan Membaca Rivers dan Temperly (1978) mengajukan tujuh tujuan utama dalam membaca yaitu: a. Memperoleh informasi untuk suatu tujuan atau merasa penasaran tentang suatu topik. b. Memperoleh berbagai petunjuk tentang cara melakukan suatu tugas bagi pekerjaan atau kehidupan sehari-hari (misalnya, mengetahui cara kerja alat- alat rumah tangga). c. Berakting dalam sebuah drama, bermain game, menyelesaikan teka-teki. d. Berhubungan dengan teman-teman dengan surat-menyurat atau untuk memahami surat-surat bisnis. e. Mengetahui kapan dan di mana sesuatu akan terjadi atau apa yang tersedia. f. Mengetahui apa yang sedang terjadi atau telah terjadi (sebagaimana dilaporkan dalam koran, majalah, laporan). g. Memperoleh kesenangan atau hiburan. Pembelajaran Membaca – KKG 5
• Ada beberapa tujuan membaca menurut Anderson (dalam Tarigan, 1985:9–10). “(1) menemukan detail atau fakta, (2) menemukan gagasan utama, (3) menemukan urutan atau organisasi bacaan, (4) menyimpulkan, (5) mengklasifikasikan, (6) menilai, dan (7) membandingkan atau mempertentangkan”. Selanjutnya, Nurhadi (1989:11) menyebutkaan bahwa tujuan membaca secara khusus adalah: (1) mendapatkan informasi faktual, (2) memperoleh keterangan tentang sesuatu yang khusus dan problematis, (3) memberi penilaian terhadap karya tulis seseorang, (4) memperoleh kenikmatan emosi, dan (5) mengisi waktu luang. Sebaliknya, secara umum, tujuan membaca adalah: (1) mendapatkan informasi, (2) memperoleh pemahaman, dan (3) memperoleh kesenangan. Hubungan antara tujuan membaca dengan kemampuan membaca sangat signifikan. Pembaca yang mempunyai tujuan yang sama, dapat mencapai tujuan dengan cara pencapaian berbeda-beda. Tujuan membaca mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam membaca karena akan berpengaruh pada proses membaca dan pemahaman membaca.
3. Jenis-jenis Membaca Menurut Tarigan (1985:11–13) jenis-jenis membaca ada dua macam, yaitu: 1) membaca nyaring, dan 2) membaca dalam hati. Membaca dalam hati terdiri atas: (a) membaca ekstensif, yang dibagi lagi menjadi: membaca survey, membaca sekilas, dan membaca dangkal, dan (b) membaca intensif, yang terdiri dari: membaca telaah isi dan membaca telaah bahasa. Membaca telaah isi terdiri dari: membaca teliti, pemahaman, kritis, dan membaca ide-ide. Membaca telaah bahasa terdiri dari: membaca bahasa dan membaca sastra. Bila dibagankan,
2. jenis-jenis membaca tersebut adalah sebagai berikut. Pembelajaran Membaca – KKG
• MEMBACA Membaca Membaca Nyaring dalam Hati Membaca Membaca Ekstensif Intensif Membaca Membaca Membaca Survei Telaah Isi Telaah Bahasa Membaca Sekilas Membaca Membaca Membaca Dangkal Teliti Bahasa Membaca Membaca Pemahaman Sastra Membaca Kritis Membaca Ide-ide Jenis membaca menurut Nurhadi (1987:143) ada tiga macam, yakni membaca literal, membaca kritis, dan membaca kreatif. Pada materi ini jenis membaca yang akan dibahas adalah membaca nyaring, membaca ekstensif, dan membaca intensif. Berikut ini akan dibahas satu persatu jenis-jenis membaca tersebut. a. Membaca Nyaring Membaca nyaring (membaca bersuara) adalah suatu kegiatan membaca yang merupakan alat bagi pembaca bersama orang lain untuk menangkap isi yang berupa informasi bagi pengarang (Kamidjan, 1969:9). Tarigan (1985:22) berpendapat bahwa membaca nyaring adalah suatu kegiatan yang merupakan alat bagi guru, murid, ataupun pembaca bersama-sama dengan orang lain atau pendengar untuk menangkap serta memahami informasi, pikiran, dan perasaan seseorang pengarang. Jadi, membaca nyaring pada hakikatnya adalah proses melisankan sebuah tulisan dengan memperhatikan suara, intonasi, dan tekanan secara tepat, yang diikuti oleh pemahaman makna bacaan oleh pembaca. Pembelajaran Membaca – KKG 7
• Menurut Kamidjan (1969:9-10) ada lima aspek dalam membaca nyaring yaitu: (1) membaca dengan pikiran dan perasaan pengarang; (2) memerlukan keterampilan menafsirkan lambang-lambang grafis; (3) memerlukan kecepatan pandangan mata; (4) memerlukan keterampilan membaca, terutama mengelompokkan kata secara tepat; dan (5) memerlukan pemahaman makna secara tepat. Dalam membaca nyaring, pembaca memerlukan beberapa keterampilan. antara lain: (1) penggunaan ucapan yang tepat; (2) pemenggalan frasa yang tepat; (3) penggunaan intonasi, nada, dan tekanan yang tepat; (4) penguasaan tanda bacaa dengan baik; (5) penggunaan suara yang jelas; (6) penggunaan ekspresi yang tepat; (7) pengaturan kecepatan membaca; (8) pengaturan ketepatan pernafasan; (9) pemahaman bacaan; dan (10) pemilikan rasa percaya diri. b. Membaca Ekstensif Membaca ekstensif merupakan proses membaca yang dilakukan secara luas, bahan bacaan yang digunakan bermacam-macam dan waktu yang digunakan cepat dan singkat. Tujuan membaca ekstensif adalah sekadar memahami isi yang penting dari bahan bacaan dengan waktu yang singkat dan cepat. Broughton (dalam Tarigan, 1985:31) menyebutkan bahwa yang termasuk membaca ekstensif adalah; 1) membaca survey, 2) membaca sekilas, dan 3) membaca dangkal. Berikut ini yang termasuk membaca ekstensif akan diuraikan satu persatu. 1) Membaca survey merupakan kegiatan membaca yang bertujuan untuk mengetahui gambaran umum isi dan ruang lingkup bahan bacaan. Kegiatan membaca survey ini misalnya melihat judul, pengarang, daftar isi, dan lain- lain. 2) Membaca sekilas atau skimming adalah membaca dengan cepat untuk mencari dan mendapatkan informasi secara cepat. Dalam hal ini pembaca melakukan kegiatan membaca secara cepat untuk mengetahui isi umum suatu bacaan atau bagian-bagiannya. Membaca sekilas merupakan salah satu teknik dalam membaca cepat. Soedarso (2001:88-89) menyatakan bahwa skimming adalah suatu keterampilan membaca yang diatur secara sistematis untuk mendapatkan hasil yang efisien dengan tujuan untuk mengetahui: (1) topik bacaan, (2) pendapat orang, (3) bagian penting tanpa membca seluruhnya, (4) organisasi tulisan, dan (5) menyegarkan apa yang pernah dibaca. 3) Selanjutnya, membaca dangkal merupakan kegiatan membaca untuk memperoleh pemahaman yang dangkal dari bahan bacaan ringan yang kita baca. Tujuan membaca dangkal adalah untuk mencari kesenangan. Pembelajaran Membaca – KKG 8
• c. Membaca Intensif Membaca intensif merupakan kegiatan membaca bacaan secara teliti dan seksama dengan tujuan memahaminya secara rinci. Membaca intensif merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan dan mengasah kemampuan membaca secara kritis. Tarigan (1990:35) mengutip pendapat Brook menyatakan bahwa, membaca intensif merupakan studi seksama, telaah teliti, serta pemahaman terinci terhadap suatu bacaan. Yang termasuk membaca intensif ini adalah membaca pemahaman. Berikut ini akan diuraikan tentang membaca pemahaman. Membaca Pemahaman Menurut Tarigan (1990: 37) ada tiga jenis keterampilan membaca pemahaman, yaitu: 1) membaca literal, 2) membaca kritis, dan 3) membaca kreatif. Masing- masing jenis keterampilan membaca tersebut mempunyai ciri-ciri tersendiri. Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan pengajaran membaca, tiga keterampilan membaca pemahaman ini perlu diajarkan secara terus-menerus. Setiap pertanyaan bacaan dalam buku teks harus selalu mencerminkan keterampilan membaca tersebut. 1) Kemampuan membaca literal adalah kemampuan pembaca untuk mengenal dan menangkap isi bacaan yang tertera secara tersurat (eksplisit). Artinya, pembaca hanya menangkap informasi yang tercetak secara literal (tampak jelas) dalam bacaan. Informasi tersebut ada dalam baris-baris bacaan (Reading The Lines). Pembaca tidak menangkap makna yang lebih dalam lagi, yaitu makna di balik baris-baris. Yang termasuk dalam keterampilan membaca literal antara lain keterampilan: 1) mengenal kata, kalimat, dan paragraf; 2) mengenal unsur detail, unsur perbandingan, dan unsur utama; 3) mengenal unsur hubungan sebab akibat; 4) menjawab pertanyaan (apa, siapa, kapan, dan di mana); dan 5) menyatakan kembali unsur perbandingan, unsur urutan, dan unsur sebab akibat. 2) Kemampuan membaca kritis merupakan kemampuan pembaca untuk mengolah bahan bacaan secara kritis dan menemukan keseluruhan makna bahan bacaan, baik makna tersurat, maupun makna tersirat. Mengolah bahan bacaan secara kritis artinya, dalam proses membaca seorang pembaca tidak hanya menangkap makna yang tersurat (makna baris-baris bacaan, (Reading The Lines), tetapi juga menemukan makna antarbaris (Reading Between The Lines), dan makna di balik baris (Reading Beyond The Lines). Yang perlu diajarkan dalam membaca kritis antara lain keterampilan: 1) menemukan informasi faktual (detail bacaan); 2) menemukan ide pokok yang tersirat; 3) menemukan unsur urutan, perbandingan, sebab akibat yang tersirat; 4) menemukan suasana (mood); 5) membuat kesimpulan; 6) menemukan tujuan pengarang; 7) memprediksi (menduga) dampak; 8) membedakan opini dan fakta; 9) membedakan realitas dan fantasi; 10) mengikuti petunjuk; 11) menemukan unsur propaganda; 12) menilai keutuhan dan keruntutan gagasan; 13) menilai kelengkapan dan kesesuaian antargagasan; 14) menilai kesesuaian antara Pembelajaran Membaca – KKG 9
• judul dan isi bacaan; 15) membuat kerangka bahan bacaan; dan 16) menemukan tema karya sastra. 3) Kemampuan membaca kreatif merupakan tingkatan tertinggi dari kemampuan membaca seseorang. Artinya, pembaca tidak hanya menangkap makna tersurat (Reading The Lines), makna antarbaris (Reading Between The Lines), dan makna di balik baris (Reading Beyond The Lines), tetapi juga mampu secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kepentingan sehari-hari. Beberapa keterampilan membaca kreatif yang perlu dilatihkan antara lain keterampilan: 1) mengikuti petunjuk dalam bacaan kemudian menerapkannya; 2) membuat resensi buku; 3) memecahkan masalah sehari-hari melalui teori yang disajikan dalam buku; 4) mengubah buku cerita (cerpen atau novel) menjadi bentuk naskah drama dan sandiwara radio; 5) mengubah puisi menjadi prosa; 6) mementaskan naskah drama yang telah dibaca; dan 7) membuat kritik balikan dalam bentuk esai atau artikel populer. Selain ketiga kemampuan membaca pemahaman tersebut di atas, yang termasuk membaca pemahaman antara lain juga membaca cepat. Jenis membaca ini bertujuan agar pembaca dalam waktu yang singkat dapat memahami isi bacaan secara tepat dan cermat. Jenis membaca ini dilaksanakan tanpa suara (membaca dalam hati). Bahan bacaan yang diberikan untuk kegiatan ini harus baru (belum pernah diberikan kepada siswa) dan tidak boleh terdapat banyak kata-kata sukar, ungkapan-ungkapan yang baru, atau kalimat yang kompleks. Kalau ternyata ada, guru harus memberikan penjelasan terlebih dahulu, agar siswa terbebas dari kesulitan memahami isi bacaan karena terganggu oleh masalah kebahasaan. 4. Teknik Membaca Keterampilan membaca yang perlu dilatihkan kepada siswa antara lain: latihan membaca dengan kecepatan tertentu, latihan mengukur kecepatan membaca, latihan menempatkan secara tepat titik pandang mata, latihan memperluas jangkauan pandang mata. Berikut ini beberapa teknik membaca dan penjelasannya. SQ3R SQ3R dikemukakan oleh Francis P. Robinson (seorang guru besar psikologi dari Ohio State University), tahun 1941. SQ3R merupakan proses membaca yang terdiri dari lima langkah: a. Survey,b. Question, c. Read,d. Recite (Recall),e. Review. Membaca dengan metode SQ3R ini sangat baik untuk kepentingan membaca secara intensif dan rasional. Berikut ini akan dibahas satu persatu tentang proses membaca dalam SQ3R tersebut. Pembelajaran Membaca – KKG 10
• a. S (Survey) Survey (menyelidiki) atau prabaca adalah teknik untuk mengenal bahan sebelum membacanya secara lengkap, dilakukan untuk mengenal organisasi dan ikhtisar umum yang akan dibaca dengan maksud untuk: 1) mempercepat menangkap arti, 2) mendapat abstrak, 3) mengetahui ide-ide yang penting, 4) melihat susunan (organisasi) bahan bacaan tersebut, 5) mendapatkan minat perhatian yang seksama terhadap bacaan, dan 6) memudahkan mengingat lebih banyak dan memahami lebih mudah. Dalam kegiatan survey (prabaca) ini dilakukan dalam beberapa menit tujuannya untuk mengenal keseluruhan anatomi buku. Caranya dengan membuka-buka buku secara cepat dan menyeluruh yang langsung tampak oleh mata. Kegiatan survey tersebut bertujuan untuk memperoleh kesan atau gagasan umum tentang isinya. Kegiatan survey ini selain dilakukan terhadap sebuah buku yang akan dibaca, juga dapat dilakukan untuk melihat suatu artikel di koran atau majalah. Ada beberapa macam survey, yaitu: survey buku, survey bab, survey artikel, survey kliping. Kegiatan pertama yang perlu dilakukan pada saat survey buku adalah memperhatikan judul buku dan mengajukan pertanyaan tentang topik yang terkandung di dalamnya. Lalu melihat nama penulis dan atributnya yang biasanya memberikan petunjuk isi tulisan. Untuk melihat aktualisasinya, lihat tahun penerbitannya. Kalau ada baca juga sampul buku bagian belakang yang memuat pesan penerbit mengenai hal penting dari buku. Sesudah itu kegiatan yang perlu dilakukan adalah: 1) telusuri daftar isi, 2) baca kata pengantar, 3) lihat tabel, grafik, dan lain-lain, 4) lihat apendiks, 5) telusuri indeks. Berbagai kegiatan prabaca (survey) perlu dilakukan secara sekilas, minimal untuk mengenal seberapa tinggi tingkat keterpercayaan buku tersebut. Buku ilmiah yang baik minimal mengandung bagian-bagian buku tersebut. Setelah itu kita dapat menentukan sikap sejauh mana kita akan membaca buku tersebut. Apakah akan membaca bagian tertentu saja ataukah akan membacanya secara lengkap. Untuk itu, kita perlu melakukan kegiatan berikutnya, yaitu survey bab. Survey bab dilakukan lebih teliti dibanding survey pada keseluruhan isi buku. Pada kegiatan survey bab ini, kita bisa mengamati subjudul-subjudul dan kaitannya, juga amati alat bantu visual yang ada di bab tersebut, misalnya: grafik, peta, dan lain-lain. Setelah itu kegiatan yang perlu dilakukan pada survey bab ini adalah: 1) membaca paragraf pertama dan terakhir, membaca ringkasan (bila ada), dan 3) membaca subjudul yang biasanya memperjelas isi bab tersebut. Survey artikel perlu kita lakukan sebelum kita membaca artikel tersebut secara keseluruhan. Hal ini kita lakukan karena ada bermacam artikel. Ada artikel yang terus saja ditelan, ada yang perlu diuji kembali, ada yang perlu diringkas, ditimbang-timbang, atau mungkin langsung dibuang begitu saja. Survey artikel ini dapat dilakukan dengan tahapan: 1) membaca judul, 2) membaca semua subjudul, 3) mengamati tabel, 4) membaca kata pengantar, 5) membaca kalimat pertama subbab, dan 6) memilih bagian yang perlu atau tidak perlu untuk dibaca. Pembelajaran Membaca – KKG 11
• Survey kliping dilakukan untuk memilih bahan (kliping) baik dari surat kabar ataupun majalah yang benar-benar memenuhi kebutuhan atau keinginan kita. Kegiatan suvey kliping dilakukan dengan tahapan: 1) baca judul, 2) baca penulisnya agar dapat memperkirakan isinya dan dapat membuat keputusan untuk membaca atau tidak. Selanjutnya lakukan kegiatan seperti pada survey artikel. Dengan kegiatan survey tersebut kita dapat menentukan dengan cepat apakah kliping tersebut cocok dengan kebutuhan kita, sehingga perlu atau tidak untuk dibaca. b. Q (Question) Bersamaan pada saat survey, ajukan pertanyaan-pertanyaan tentang isi bacaan, misalnya dengan mengubah judul dan subjudul menjadi sebuah pertanyaan. Kita dapat menggunakan 5W+1H (What, Who, Where, When, Why, dan How). Pada waktu survey buku, pertanyaan kita mungkin masih terlalu umum, tetapi pada waktu survey bab, pertanyaan kita akan lebih khusus. Tujuan pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah membuat (pembaca lebih aktif dan lebih mudah menangkap gagasan yang ada. Selain itu, pertanyaan- pertanyaan tersebut akan membangkitkan keingintahuan kita, sehingga lebih meningkatkan pemahaman dan mempercepat penguasaan seluruh isi bab. c. R (Read) Read (membaca) merupakan langkah ketiga, bukan langkah pertama atau satu-satunya langkah. Pada langkah ketiga ini membaca mencari jawaban berdasarkan pertanyaan-pertanyaan. Pada tahap ini konsentrasikan pada penguasaan ide pokok. Kita dapat sedikit memperlambat cara membaca pada bagian-bagian yang kita anggap penting dan mempercepatnya pada bagian yang kurang atau tidak penting. Konsentrasikan diri untuk mendapatkan ide pokoknya serta mengetahui detail yang penting. d. R (Recite atau Recall) Pada kegiatan recite atau recall (mendaras) kita berusaha untuk memperkokoh perolehan kita dari membaca. Pada kegiatan ini apa yang telah diperoleh dihubungkan dengan informasi yang diperoleh sebelumnya dan kita bersiap diri untuk pembacaan selanjutnya. Pada kesempatan ini kita juga dapat membuat catatan seperlunya. Jika masih mengalami kesulitan, ulangi membaca bab itu sekali lagi. Sekalipun bahan itu mudah dimengerti, tahap mengutarakan kembali hal-hal penting itu jangan dilewatkan agar tidak mudah dilupakan. Pada tahap ini disediakan waktu setengah dari waktu untuk membaca. Hal ini bukan berarti pemborosan waktu, melainkan memang penting untuk tahap ini. e. R (Review) Review atau mengulangi merupakan kegiatan untuk melihat kembali keseluruhan isi buku. Kegiatan ini bertujuan untuk menelusuri kembali judul dan subjudul-subjudul atau bagian-bagian penting lainnya dengan menemukan pokok-pokok penting yang perlu untuk diingat kembali. Tahap ini selain membantu daya ingat dan memperjelas pemahaman juga untuk mendapatkan hal-hal penting yang barangkali kita terlewati sebelum ini. Pada langkah kelima Pembelajaran Membaca – KKG 12
• ini berusahalah untuk memperoleh penguasaan bulat, menyeluruh, dan kokoh atas bahan. Skimming Skimming merupakan tindakan untuk mengambil intisari atau saripati dari suatu hal. Oleh karena itu, skimming merupakan cara membaca hanya untuk mendapatkan ide pokok, yang dalam hal ini tidak selalu di awal paragraf, karena kadang ada di tengah, ataupun di akhir paragraf. Pada kegiatan skimming ini, kita dapat melompati bagian-bagian, fakta-fakta, dan detail-detail yang tidak terlalu dibutuhkan, sehingga kita hanya memusatkan perhatian dan cepat menguasai ide pokoknya. Kegiatan skimming ini sering kita lakukan meskipun tanpa kita sadari. Kegiatan itu untuk sekadar mengetahui apakah sebuah buku yang akan dibaca itu sesuai dengan yang dibutuhkan. Skimming seperti itu juga lazim disebut sebagai browsing buku. Skimming merupakan suatu keterampilan membaca yang diatur secara sistematis untuk mendapatkan hasil yang efisien, untuk berbagai tujuan. Tujuan skimming adalah untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya. Selain itu, skimming juga bertujuan untuk: 1) mengenali topik bacaan; 2) mengetahui pendapat (opini) orang; 3) mendapatkan bagian penting yang kita perlukan tanpa membaca keseluruhan; 4) mengetahui organisasi penulisan, urutan ide pokok, kesatuan pikiran, dan hubungan antarbagian dari bacaan tersebut; dan 5) penyegaran apa yang telah dibaca. Gerakan mata saat membaca dengan cara skimming ini hampir seperti jika membaca lengkap, kecuali jika kita akan melompati bagian-bagian tertentu. Cara yang efektif adalah menelusuri awal paragraf yang memuat ide pokok. Lalu cepat bergerak (melompat atau skipping) ke bagian lain paragraf itu dan berhenti (fixate) di sana-sini jika menemukan detail memahami, kemudian bergerak cepat lagi dan berhenti lagi untuk memungut detail atau gagasan yang penting. Detail penting dapat ditunjukkan oleh tipografi atau tanda-tanda rincian yang biasanya dengan mudah kita kenali. Skimming juga disebut sebagai review atau tinjauan balik. Skanning Skanning adalah suatu teknik membaca untuk mendapatkan suatu informasi tanpa membaca yang lain-lain, jadi langsung ke masalah yang dicari, yaitu fakta khusus dan informasi tertentu. Skanning sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya untuk mencari: nomor telepon, arti kata pada kamus, entri pada indeks, angka-angka statistik, acara siaran TV, dan melihat daftar perjalanan. Gerakan mata dalam skanning tidak jauh berbeda dengan skimming. Untuk mengetahui tempat informasi tertentu, bantuan yang baik adalah judul-judul bab dan subjudulnya. Jika yang dicari itu suatu angka, gerakan mata dengan cepat dan berhentilah pada setiap angka yang kiranya mirip, jika kiranya bukan, jangan ditunda lagi, teruskan bergerak ke bawah. Demikian juga untuk mencari suatu nama. Jadi, kegiatan skanning adalah untuk mencari informasi khusus. Karena itu kita perlu terlebih dahulu mengetahui apa yang akan kita cari. Selain itu, skanning juga dapat dilakukan pada bacaan yang berupa prosa. Yang dimaksud dengan skanning prosa adalah mencari informasi topik tertentu Pembelajaran Membaca – KKG 13
• dalam suatu bacaan, yaitu dengan mencari letak di bagian mana dari tulisan itu memuat informasi yang dibutuhkan. Caranya adalah: 1) mengetahui kata-kata kunci yang menjadi petunjuk, 2) mengenali organisasi tulisan dan sturuktur tulisan, untuk memperkirakan letak jawaban, 3) gerakkan mata secara sistematik dan cepat seperti anak panah meluncur ke bawah atau dengan pola “S” atau zigzag, dan 4) setelah menemukan tempatnya, lambatkan kecepatan membaca untuk meyakinkan kebenaran yang kita cari. Seorang penulis, jika ingin hasil tulisannya lebih baik tidak dan hanya mengacu pada satu sumber saja, melainkan pada beberapa sumber. Untuk itu, diperlukan cara cepat untuk memperoleh informasi topik tertentu pada beberapa sumber. Penulis tidak perlu membaca keseluruhan tetapi cukup dengan skanning melalui daftar isi dan indeks, serta alat-alat visual, seperti grafik. Dalam sebuah buku, mungkin topik yang dicari tersebut menyebar di berbagai bab buku dan harus segera ditemukan dengan mengantisipasi beberapa kemungkinan. Pencarian tersebut harus cepat agar segera dapat beralih dari satu buku ke buku lainnya agar informasi tersebut dapat segera kita kuasai atau dipahami. Pada saat membaca mungkin kita menemukan beberapa kata sulit. Hal itu jangan membuat kita memperlambat cara membaca kita. Arti kata sulit tersebut dapat kita sesuaikan dengan konteks kalimat yang ada. Bila memang kata tersebut terlalu sulit dan tidak kita pahami maknanya, barulah kita melakukan skanning kata di kamus. Dalam melakukan kegiatan tersebut, kita perlu memperhatikan: 1) ejaan kata itu dengan seksama; 2) cara pengucapan, panjang pendeknya, dan aksen (tekanannya); 3) etimologinya; 4) pengertian yang sesuai dengan konteks kalimatnya; 5) contoh kalimatnya; dan 6) petunjuk halaman yang ada di setiap halaman. Untuk menemukan nomor telepon dengan cepat, kita juga perlu melakukan skanning nomor telepon. Terlebih dahulu memperhatikan halaman pertama dari buku telepon tersebut yang sangat membantu dalam mencari nomor yang kita butuhkan. Selain itu, kita juga sering harus melakukan skanning terhadap acara televisi. Hal ini dilakukan agar tidak duduk bengong di depan televisi, sementara banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Kita harus dapat secara cepat menemukan acara televisi mana yang benar-benar ingin ditonton.
5. Tahap-tahap Membaca Tahap I Membaca bahan yang telah dipelajari, mengucapkannya dengan baik atau bahan yang mungkin telah diingat. Bahan-bahan tersebut mungkin berupa percakapan, nyanyian, serangkaian kalimat tindakan ataupun cerita sederhana mengenai hal-hal yang telah dialami. Dalam tahap ini, perlu ada bimbingan untuk mengembangkan atau meningkatkan responsi-responsi visual yang otomatis terhadap gambaran- Pembelajaran Membaca – KKG 14
• gambaran huruf yang akan dilihat pada gambaran cetakan. Selain itu harus benar-benar memahami bahwa kata-kata tertulis itu mewakili atau menggambarkan bunyi-bunyi.
Tahap II Menyusun kata-kata serta struktur- struktur dari bahasa asing yang telah diketahui menjadi bahan dialog atau paragraf yang beraneka ragam. Pada tahap ini perlu dibimbing dalam membaca bahan yang baru disusun.
Tahap III Membaca bahan yang berisi sejumlah kata dan struktur yang masih asing atau belum biasa. Beberapa percobaan informal telah menunjukkan bahwa pembaca mengalami sedikit kesulitan bahkan tidak mengalami kesulitan sama sekali menghadapi sebuah kata baru yang diselipkan di antara tiga puluh kata biasa. Pada tahap ini pembaca acapkali teks-teks tata bahasa berisi paragraf-paragraf atau pilihan-pilihan yang sesuai buat bacaan.
Tahap IV Pada tahap ini, beberapa spesialis dalam bidang membaca menganjurkan penggunaan teks-teks sastra yang telah disederhanakan atau majalah-majalah sebagai bahan bacaan.
Tahap V Pada tahap ini seluruh dunia buku terbuka, dalam pengertian bahan bacaan tidak dibatasi (Finocchiaro and Bonomo, 1973:123–125 dalam Tarigan, 1979:18–20).
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Membaca Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses pemahaman. Faktor- faktor tersebut adalah:
1) faktor kognitif,
2) faktor afektif, 3) faktor teks bacaan,
dan 4) faktor penguasaan bahasa. Faktor yang pertama berkaitan dengan pengetahuan, pengalaman, dan tingkat kecerdasan (kemampuan berpikir) seseorang. Faktor kedua berkaitan dengan kondisi emosional, sikap, dan situasi. Faktor ketiga berkaitan dengan tingkat kesukaran dan keterbacaan suatu bacaan yang dipengaruhi oleh pilihan kata, struktur, isi bacaan, dan penggunaan bahasanya. Selanjutnya faktor terakhir berkaitan dengan tingkat kemampuan berbahasa yang berkaitan dengan penguasaan perbendaharaan kata, struktur, dan unsur- unsur kewacanaan.
Pembelajaran Membaca – KKG 15
• B. KONSEP PEMBELAJARAN MEMBACA
1. Konsep Pembelajaran Membaca Setiap guru bahasa haruslah menyadari serta memahami benar bahwa membaca adalah suatu keterampilan yang kompleks, rumit, yang mencakup atau melibatkan serangkaian keterampilan-keterampilan yang lebih kecil. Dengan perkataan lain, keterampilan membaca mencakup tiga komponen, yaitu: (a) pengenalan terhadap aksara serta tanda-tanda baca; (b) korelasi aksara beserta tanda-tanda baca dengan unsur-unsur linguistik yang formal; (c) hubungan lebih lanjut dari A dan B dengan makna atau meaning (Broghton (et al) 1978:90 dalam Tarigan 1979:11). Ketetampilan A merupakan suatu kemampuan untuk mengenal bentuk-bentuk yang disesuaikan dengan mode yang berupa gambar, gambar di atas suatu lembaran, lengkungan-lengkungan, garis-garis, dan titik-titik dalam hubungan- hubungan berpola yang teratur rapi. Keterampilan B merupakan suatu kemampuan untuk menghubungkan tanda- tanda hitam di atas kertas – yaitu gambar-gambar berpola tersebut-dengan bahasa. Adalah tidak mungkin belajar membaca tanpa kemampuan belajar memperoleh serta memahami bahasa. Hubungan-hubungan itu jelas sekali terlihat terjadi antara unsur-unsur dari pola-pola tersebut di atas kertas dan unsur-unsur bahasa yang formal. Keterampilan ketiga atau C yang mencakup keseluruhan keterampilan membaca, pada hakikatnya merupakan keterampilan intelektual; ini merupakan kemampuan atau abilitas untuk menghubungkan tanda-tanda hitam di atas kertas melalui unsur-unsur bahasa yang formal, yaitu kata-kata sebagai bunyi, dengan makna yang dilambangkan oleh kata-kata tersebut (Broghton (et al) 1978:90 dalam Tarigan 1979:12). Pembelajaran membaca merupakan kemampuan pemahaman yang diajarkan secara seimbang dan terpadu. Seimbang dalam arti pembelajaran membaca disampaikan secara seimbang dengan keterampilan berbahasa lain. Dalam kegiatan pembelajaran membaca, KD membaca akan menjadi fokus pembelajaran, sedangkan aspek keterampilan berbahasa lain menyertai dalam kegiatan pembelajaran. Hal itulah yang dimaksud dengan adanya keseimbangan keempat aspek keterampilan berbahasa dalam kegiatan pembelajaran. Terpadu maksudnya bahwa dalam kegiatan pembelajaran membaca dapat dipadukan dengan keterampilan lainnya yaitu mendengarkan, berbicara, dan menulis. Sedangkan kemampuan yang disampaikan adalah kemampuan berbahasa dan bersastra. Oleh karena itu, wacana dalam pembelajaran membaca bisa berupa wacana sastra maupun nonsastra. Pembelajaran Membaca – KKG 16
• 2. Karakteristik Pembelajaran Membaca Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar di lakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid. Konsep pembelajaran menurut Corey (1986:195) dalam Sagala (2003:61) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan. Pembelajaran membaca mengandung arti karena setiap kegiatan membaca dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan membaca dan memperoleh nilai-nilai yang baru. Proses pembelajaran membaca pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa. Hal tersebut meliputi kemampuan dasar, motivasi, latar belakang akademis, latar belakang sosial ekonomi, dan lain sebagainya. Kesiapan guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran membaca merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran. Jadi, belajar dan pembelajaran membaca diarahkan untuk membangun kemampuan berfikir dan kemampuan menguasai materi pelajaran, dimana pengetahuan itu sumbernya dari luar diri, tetapi dikonstruksi dalam diri individu siswa. Pembelajaran membaca merupakan suatu keterampilan yang kompleks yang melibatkan serangkaian keterampilan lebih kecil lainnya. Secara garis besar, terdapat dua karakteristik yang penting dalam pembelajaran membaca. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut. a. Keterampilan yang bersifat mekanis dapat dianggap berada pada urutan yang lebih rendah. Hal ini mencakup: (a) pengenalan bentuk huruf; (b) pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem/grafem, kata, frase, pola klausa, kalimat, dan lain-lain); (c) pengenalan hubungan/korespondensi pola ejaan dan bunyi (kemampuan menyuarakan bahan tertulis); (d) kecepatan membaca ke taraf lambat. b. Keterampilan bersifat pemahaman yang dapat dianggap berada pada urutan yang lebih tinggi. Hal ini mencakup: (a) memahami pengertian sederhana (leksikal, gramatikal, retorikal); (b) memahami signifikansi atau makna (a.l. maksud dan tujuan pengarang, relevansi/keadaan kebudayaan, dan reaksi pembaca); (c) evaluasi atau penilaian (isi, bentuk); (d) kecepatan membaca yang fleksibel, mudah disesuaikan dengan keadaan (Broghton (et al) 1978:211 dalam Tarigan 1978:12 – 13). 3. Kriteria Pemilihan Bahan Pembelajaran Membaca Untuk mencapai hasil yang memuaskan dalam penyajian pembelajaran membaca, guru sebaiknya memperhatikan hal-hal berikut: (1) Pemeriksaan Pembelajaran Membaca – KKG 17
• awal. (2) Persiapan lingkungan. (3) Persiapan siswa. (4) Penyajian bahan pengajaran. Broghton (et.al) 1978:211 dalam Tarigan 1978:12 – 13 menyebutkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan bahan pembelajaran membaca. a. Sesuai dengan atau dapat menunujang tercapainya tujuan pembelajaran. b. Sesuai dengan tingkat pendidikan dan perkembangan siswa pada umumnya. c. Terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan. d. Mencakup hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual. Materi dan bahan pembelajaran membaca ditetapkan dengan mengacu pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Bahan pembelajaran yang diberikan bermakna bagi para siswa, dan merupakan bahan yang betul-betul penting, baik dilihat dari tujuan yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk mempelajari bahan berikutnya. 4. Metode Pembelajaran Membaca Dalam kenyataan sehari-hari seorang siswa perlu menggunakan kemampuan membaca cepat untuk mengambil makna bahan bacaan secara efektif dan efisien. Menurut Broghton (et.al) 1978 dalam Tarigan (1978. 22) ada beberapa cara untuk meningkatkan kecepatan membaca yang dimiliki siswa hingga sampai pada taraf yang efektif. Beberapa metode yang pernah dikembangkan untuk meningkatkan hal ini adalah: a. metode kosakata, b. metode motivasi (minat),c. metode bantuan alat, dan d. metode gerak mata. Untuk lebih jelasnya metode-metode tersebut akan dibahas satu persatu. a. Metode kosakata adalah metode yang mengembangkan kecepatan membaca melalui pengembangan kosakata. Artinya, metode ini mengembangkan perhatian pada aspek perbendaharaan kata seorang pembaca. Bagaimana caranya? Kosakata seseorang itu terbatas jumlahnya, dan akan selalu berkembang terus sesuai dengan kemampuannya menambah kosakata itu setiap hari. Latihan meningkatkan dan menambah kosakata baru dengan dan dalam jumlah yang banyak inilah prinsip metode kosakata. Dasar pikiran metode ini sudah jelas, yaitu semakin besar dan semakin banyak perbendaharaan kata siswa, semakin tinggi kecepatan membacanya. Inilah yang diajarkan kepada siswa. b. Cara kerja metode motivasi (minat) ialah memotivasi para pemula (pembaca yang mengalami hambatan dalam kecepatan membacanya) dengan berbagai macam rangsangan bacaan yang menarik, sehingga tumbuh minat membacanya. Dari sini kemudian diharapkan muncul kebiasaan membaca tinggi, yang pada akhirnya meningkat pula kecepatan dan pemahamannya terhadap bacaan. Pikiran yang mendasari lahirnya metode ini adalah Pembelajaran Membaca – KKG 18
• semakin tertarik atau berminatnya seseorang pada jenis buku tertentu, semakin tinggi kecepatan dan pemahaman seseorang. c. Metode bantuan alat merupakan metode yang dapat membantu pembaca dalam membaca (melihat baris-baris bacaan), gerak matanya dipercepat dengan bantuan alat yang berupa ujung pensil, ujung jari, atau alat petunjuk khusus dari kayu. Semula dengan kecepatan rendah, kemudian dipercepat, dan semakin dipercepat. Jadi, kecepatan mata mengikuti kecepatan gerak alat. d. Metode gerak mata adalah metode yang paling banyak dipakai dan dikembangkan orang saat ini, baik untuk pembelajaran membaca permulaan, maupun bagi siapa saja yang ingin meningkatkan kecepatan membacanya. Cara melatihnya yaitu mengembangkan kecepatan membaca dengan meningkatkan kecepatan gerak mata, karena kecepatan membaca itu sendiri berarti kecepatan gerak mata dalam menyelusuri unit-unit bahasa. Pokok pikiran yang melandasi metode ini adalah semakin panjang dan semakin luas jangkauan mata (eye span) dalam melihat unit-unit bahasa, semakin cepat pula kemampuan membacanya. Logikanya, jika kita hanya membaca unit-unit bahasa yang paling kecil, maka yang harus dibaca itu jumlahnya semakin besar sehingga menghambat kecepatan membaca. Sebaliknya, jika yang dibaca itu hanya unit-unit bahasa yang lebih besar, misalnya frase, frase kompleks, klausa, atau bahkan hanya unit-unit pikiran saja, maka kecepatan membaca akan terlipat ganda. Dalam pelaksanaannya, membaca pemahaman ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, seperti: bottom up, top down, dan interactive approach. Pembelajaran membaca pemahaman dengan pendekatan bottom up (dari bawah ke atas) dimulai dari pemahaman terkecil sampai terbesar. Pemahamannya dapat dimulai dari kata, struktur kalimat, paragraf, sampai wacana. Pendekatan top down (dari atas ke bawah) dimulai dari pemahaman secara global (keseluruhan) hingga ke bagian-bagian terkecil. Pemahaman dapat dimulai dari garis besar wacana, paragraf, struktur kalimat, sampai kata. Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengaktifkan skemata siswa. Terakhir, pendekatan integrative approach (perpaduan bottom up dan top down) dimaksudkan untuk mendapatkan hal-hal positif dan menghindari hal-hal yang negatif dari kedua pendekatan sebelumnya, sehingga sesuai dengan situasi dan kondisi. Berikut ini, dikemukakan sejumlah keterampilan membaca yang dituntut pada setiap kelas di sekolah dasar khususnya pada membaca dalam hati. Kelas I: a. Membaca tanpa bersuara, tanpa gerakan-gerakan bibir, dan tanpa berbisik b. Membaca tanpa gerakan-gerakan kepala. Pembelajaran Membaca – KKG 19
• Kelas II: a. Membaca tanpa gerakan-gerakan bibir atau kepala b. Membaca lebih cepat secara dalam hati daripada secara bersuara. Kelas III: a. Membaca dalam hati tanpa menunjuk-nunjuk dengan jari, tanpa gerakan bibir b. Memahami bahan bacaan yang dibaca secara diam atau secara dalam hati itu c. Lebih cepat membaca dalam hati daripada membaca bersuara. Kelas IV: a. Mengerti serta mamahami bahan bacaan pada tingkat dasar; b. Kecepatan mata dalam membaca tiga kata per detik. Kelas V: a. Membaca dalam hati jauh lebih cepat daripada membaca bersuara; b. Membaca dengan pemahaman yang baik; c. Membaca tanpa gerakan-gerakan bibir atau kepala atau menunjuk- nunjuk dengan jari tangan; d. Menikmati bahan bacaan yang dibaca dalam hati itu; senang membaca dalam hati. Kelas VI: a. Membaca tanpa gerakan-gerakan bibir; tanpa komat-kamit; b. Dapat menyesuaikan kecepatan membaca dengan tingkat kesukaran yang terdapat dalam bahan bacaan; c. Dapat membaca 180 patah kata dalam satu menit pada bacaan fiksi pada tingkat dasar. (Barbe and Abbott 1975:156-167 dalam Tarigan 1979:39). 5. Media Pembelajaran Membaca Media pembelajaran pada dasarnya merupakan alat bantu yang dapat mempermudah pembelajaran. Dalam pembelajaran membaca, media pembelajaran dapat berupa gambar (peta, tabel, grafik, bagan, dan lain sebagainya), film asing, teks bacaan sastra dan non sastra. Fungsi media tersebut adalah untuk memperjelas pemahaman siswa dalam memahami informasi yang dibaca. Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi media dalam pembelajaran membaca sangatlah penting. Dengan menggunakan media siswa akan tertarik dan mudah dalam memahami informasi. Berkaitan dengan penjelasan di atas, berikut dikemukakan beberapa prinsip yang dapat digunakan untuk memilih dan menentukan media pembelajaran Pembelajaran Membaca – KKG 20
• membaca. Menurut Sumadi (2001:35–36) mengatakan prinsip untuk menentukan media dalam bahasa adalah sebagai berikut. a. Fungsional, artinya cocok dengan tujuan pembelajaran yang dilakukan dan benar-benar menunjang ketercapaian tersebut. b. Tersedia, artinya media yang akan digunakan ada dan sudah disiapkan. c. Murah, artinya media yang digunakan tidak harus mahal tetapi terjangkau dan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. d. Menarik, artinya media yang digunakan adalah media menarik dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Setidaknya ada beberapa kriteria untuk menentukan media yang menarik bagi siswa yaitu: 1) sesuai dengan kebutuhan siswa, 2) sesuai dengan dunia siswa, 3) baru, dan 4) menantang. 6. Kriteria Penilaian Membaca Kegiatan pendidikan dan pembelajaran sebenarnya merupakan suatu proses, yaitu proses mencapai sejumlah tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pencapaian tujuan tersebut, diperlukan suatu alat atau kegiatan yang disebut penilaian. Untuk dapat memberikan penilaian secara tepat, misalnya tentang kemampuan siswa memahami wacana surat kabar, kita memerlukan data-data tentang kemampuan siswa dalam hal itu. Berikut ini beberapa kriteria penilaian membaca yang perlu diperhatikan. a. Kriteria kelayakan alat tes, yaitu kesesuaian alat tes dengan tujuan dan bahan pembelajaran. b. Kriteria kesahihan alat tes, meliputi: a) kesahihan isi, yaitu menunjuk pada pengertian apakah alat tes itu mempunyai kesejajaran (sesuai) dengan tujuan dan deskripsi bahan pelajaran yang diajarkan; b) kesahihan konstruk atau konsep, berkaitan dengan konstruk atau konsep bidang ilmu yang akan diuji kesahihan tesnya. Konstruk merupakan suatu asumsi, hipotesis yang berkenaan dengan suatu bidang ilmu. Kesahihan konstruk menunjuk pada pengertian apakah tes yang disusun itu telah sesuai dengan konsep ilmu yang diteskan itu; c) kesahihan ukuran (norma, standar, kriteria) menunjuk pada pengertian seberapa jauh siswa yang sudah diajar dalam bidang tertentu menunjukkan kemampuan yang lebih tinggi dari pada yang belum diajar; d) kesahihan sejalan, menunjuk pada pengertian apakah tingkat kemampuan seseorang pada suatu bidang yang diteskan mencerminkan atau sesuai dengan skor bidang yang lain yang mempunyai kesamaan karakteristik; e) kesahihan ramalan, menunjuk pada pengertian apakah sebuah alat tes mempunyai kemampuan untuk meramalkan prestasi yang akan dicapai kemudian. Pembelajaran Membaca – KKG 21
• c. Kriteria ketepercayaan alat tes menunjuk pada pengertian apakah suatu tes dapat mengukur secara konsisten sesuatu yang akan diukur dari waktu ke waktu (Tuckman, 1975:254 dalam Nurgiyantoro 1987:118). d. Kriteria kepraktisan, meliputi: a) keekonomisan, pertimbangan keekonomisan melihat tes dari segi mahal atau tidaknya pelaksanaan tes akan dilakukan; b) pelaksanaan, sebuah tes yang baik dalam hal ini dilihat dari segi praktisnya adalah tes yang mudah dilaksanakan atau diadministrasikan. Artinya, pelaksanaan tes itu tidak menuntut berbagai fasilitas yang rumit atau yang tidak dimiliki oleh sekolah; c) penskoran, pemilihan sebuah alat tes hendaknya juga mempertimbangkan kumudahan penskoran terhadap hasil pekerjaan siswa; d) penafsiran, kemudahan penafsiran terhadap hasil tes juga merupakan suatu hal yang perlu dipertimbangkan. Sebuah tes yang baik tentunya disertai dengan pedoman bagaimana menafsirkan hasil tes tersebut, apakah ia menuntut untuk ditafsirkan berdasarkan norma standar atau norma kelompok, di samping itu juga adanya pedoman untuk melakukan penghitungan-penghitungan. Pembelajaran Membaca – KKG 22
• BAB III RANCANGAN PEMBELAJARAN MEMBACA A. Pemetaan KD Pembelajaran Membaca Langkah-langkah pemetaan KD pembelajaran membaca adalah sebagai berikut. 1. Mendahulukan KD yang mudah dari masing-masing semester pada tingkat yang bersangkutan. 2. Melihat jumlah KD untuk masing-masing kemampuan (berbahasa dan bersastra) 3. Menghitung alokasi waktu untuk masing-masing KD berdasarkan perhitungan pekan efektif dalam tiap semester dan tingkat kesulitan masing- masing KD 4. Memetakan KD membaca yang bisa diintegrasikan dengan KD aspek keterampilan berbahasa yang lain (mendengarkan, berbicara, dan menulis) B. Penjabaran KD Menjadi Indikator Penjabaran KD ke dalam indikator harus sesuai dengan karakteristik peserta didik, satuan pendidikan, dan lingkungan. Berikut ini langkah-lagkah penjabaran KD menjadi sebuah indikator. 1. Menganalisis tingkat kompetensi dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. 2. Menganalisis karakteristik mata pelajaran, peserta didik, dan sekolah. 3. Menganalisis kebutuhan dan potensi. 4. Merumuskan indikator. Dalam merumuskan indikator perlu diperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut. 1. Setiap KD dikembangkan sekurang-kurangnya menjadi dua indikator. 2. Keseluruhan indikator memenuhi tuntutan kompetensi yang tertuang dalam kata kerja yang digunakan dalam SK dan KD. Indikator harus mencapai tingkat kompetensi minimal KD dan dapat dikembangkan melebihi kompetensi minimal sesuai dengan potensi dan kebutuhan peserta didik. 3. Indikator yang dikembangkan harus menggambarkan hirarki kompetensi. Pembelajaran Membaca – KKG 23
• 4. Rumusan sebuah indikator sekurang-kurangnya mencakup dua aspek, yaitu tingkat kompetensi dan materi pembelajaran. 5. Indikator harus dapat mengakomodir karakteristik mata pelajaran sehingga menggunakan kata kerja operasional yang sesuai. 6. Rumusan indikator dapat dikembangkan menjadi beberapa indikator penilaian yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan/atau psikomotorik. Berikut ini contoh penjabaran KD membaca menjadi indikator. SD Kelas IV Semester 2: Kompetensi Dasar Indikator Menemukan kalimat 1. Menjawab pertanyaan isi bacaan. utama pada tiap 2. Menentukan kalimat utama tiap paragaf paragraf melalui dalam bacaan. membaca intensif. 3. Menyimpulkan isi bacaan. C. Penentuan Sumber Belajar dan Materi (Bahan Ajar) Sumber belajar ditetapkan sebagai informasi yang disajikan dan disimpan dalam berbagai bentuk media, yang dapat membantu siswa dalam belajar sebagai perwujudan dari kurikulum. Bentuknya tidak terbatas apakah dalam bentuk cetakan, video, format perangkat lunak atau kombinasi dari berbagai format yang dapat digunakan oleh siswa ataupun guru. Sadiman mendefinisikan sumber belajar sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk belajar, yakni dapat berupa orang, benda, pesan, bahan, teknik, dan latar (Sadiman, Arief S., Pendayagunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Pembelajaran, makalah, 2004). Menurut Association for Educational Communications and Technology (AECT, 1977), sumber belajar adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi tujuan pembelajaran. Dengan demikian maka sumber belajar juga diartikan sebagai segala tempat atau lingkungan sekitar, benda, dan orang yang mengandung informasi dapat digunakan sebagai wahana bagi peserta didik untuk melakukan proses perubahan tingkah laku. Dari pengertian tersebut maka sumber belajar dapat dikategorikan sebagai berikut. 1. Tempat atau lingkungan alam sekitar yaitu dimana saja seseorang dapat melakukan belajar atau proses perubahan tingkah laku maka tempat itu Pembelajaran Membaca – KKG 24
• dapat dikategorikan sebagai tempat belajar yang berarti sumber belajar, misalnya perpustakaan, pasar, museum, sungai, gunung, tempat pembuangan sampah, kolam ikan dan lain sebagainya. 2. Benda yaitu segala benda yang memungkinkan terjadinya perubahan tingkah laku bagi peserta didik, maka benda itu dapat dikategorikan sebagai sumber belajar. Misalnya situs, candi, benda peninggalan lainnya. 3. Orang yaitu siapa saja yang memiliki keahlian tertentu di mana peserta didik dapat belajar sesuatu, maka yang bersangkutan dapat dikategorikan sebagai sumber belajar. Misalnya guru, ahli geologi, polisi, dan ahli-ahli lainnya. 4. Bahan yaitu segala sesuatu yang berupa teks tertulis, cetak, rekaman elektronik, web, dll yang dapat digunakan untuk belajar. 5. Buku yaitu segala macam buku yang dapat dibaca secara mandiri oleh peserta didik dapat dikategorikan sebagai sumber belajar. Misalnya buku pelajaran, buku teks, kamus, ensiklopedi, fiksi dan lain sebagainya. 6. Peristiwa dan fakta yang sedang terjadi, misalnya peristiwa kerusuhan, peristiwa bencana, dan peristiwa lainnya yang guru dapat menjadikan peristiwa atau fakta sebagai sumber belajar. Sumber belajar akan menjadi bermakna bagi peserta didik maupun guru apabila sumber belajar diorganisir melalui satu rancangan yang memungkinkan seseorang dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar. Jika tidak maka tempat atau lingkungan alam sekitar, benda, orang, dan atau buku hanya sekedar tempat, benda, orang atau buku yang tidak ada artinya apa-apa. Bahan ajar merupakan bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Melalui bahan ajar guru akan lebih mudah dalam melaksanakan pembelajaran dan siswa akan lebih terbantu dan mudah dalam belajar. Bahan ajar dapat dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik materi ajar yang akan disajikan. Bahan ajar merupakan bagian dari sumber belajar. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Bahan ajar atau teaching-material, terdiri atas dua kata yaitu teaching atau mengajar dan material atau bahan. Dalam website Dikmenjur dikemukakan pengertian bahwa, bahan ajar merupakan seperangkat materi/substansi pembelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dengan bahan ajar memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi atau KD secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu. Pembelajaran Membaca – KKG 25
• Lebih lanjut disebutkan bahwa fungsi bahan ajar adalah sebagai berikut. 1. Pedoman bagi Guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa. 2. Pedoman bagi Siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari/dikuasainya. 3. Alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran. Materi dan sumber belajar ditentukan dengan memperhatikan hal-hal berikut ini. 1. Materi dan sumber belajar harus menimbulkan minat baca siswa. 2. Materi ditulis dan dirancang untuk siswa, sehingga harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami siswa. 3. Materi yang ditulis harus sesuai dan menjelaskan KD dan indikator. 4. Materi disusun berdasarkan pola belajar yang fleksibel. 5. Struktur isi materi dtulis berdasarkan kebutuhan siswa dan kompetensi akhir yang akan dicapai. 6. Isi materi harus memberi kesempatan pada siswa untuk berlatih. 7. Materi harus mengakomodasi kesulitan siswa. 8. Di dalam penyusunan materi tersebut juga harus memberikan rangkuman. 9. Gaya penulisan materi harus komunikatif dan semi formal agar mudah dipahami oleh siswa. 10. Kepadatan isi materi harus berdasarkan kebutuhan siswa. 11. Materi tersebut dikemas untuk proses pembelajaran. 12. Isi materi tersebut mempunyai mekanisme untuk mengumpulkan umpan balik dari siswa. 13. Isi materi harus menjelaskan cara mempelajari bahan ajar. Berikut ini contoh penentuan materi KD membaca untuk SD. KD Kelas IV Semester 2: Kompetensi Dasar Penentuan Materi Sesuai KD Menemukan kalimat a. Wacana (terdiri dari beberapa paragraf). utama pada tiap b. Wacana tersebut dibaca dalam hati. paragraf melalui c. Kalimat utama tiap paragraf dalam wacana membaca intensif. tersebut. D. Penentuan Metode Pembelajaran Membaca Beberapa metode yang dapat dikembangkan untuk meningkakan kemampuan membaca adalah: metode kosakata, metode motivasi (minat), metode bantuan alat, dan metode gerak mata. Berikut ini contoh penentuan metode pembelajaran membaca di SD. Pembelajaran Membaca – KKG 26
• Contoh Penentuan Metode Pembelajaran di SD: SD Kelas IV Semester 1: KD: Menemukan makna dan informasi secara tepat dalam kamus/ensiklopedi melalui membaca memindai Bila diperhatikan, KD tersebut merupakan KD membaca cepat (ekstensif), yaitu membaca memindai (skanning). Dalam kegiatan membaca memindai, siswa diharapkan secara cepat menemukan makna dan informasi dengan tepat dalam suatu wacana yang dalam hal ini menggunakan kamus atau ensiklopedi. Oleh sebab itu, dalam kegiatan pembelajaran KD ini, guru dapat menggunakan metode gerak mata dan metode kosakata. Metode gerak mata digunakan agar siswa secara cepat dan tepat menemukan informasi yang dikehendaki. Sementara metode kosakata digunakan untuk meningkatkan dan menambah kosakata baru siswa, sehingga perbendaharaan kata siswa semakin bertambah. E. Penenentuan Media Pembelajaran Membaca Mengingat banyaknya media pembelajaran, maka guru perlu mengetahui jenis- jenis media sehingga bisa menentukan media yang tepat digunakan sesuai dengan materi. Jenis media menurut Sanjaya (2006:170), dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Adapun media yang sesuai dengan pembelajaran membaca hádala sebagai berikut. 1. Media visual, yaitu media yang hanya dapat dilihat saja, tidak mengandung unsur suara.Jenis media yang tergolong ke dalam media visual adalah: film, slide, foto, transparansi, lukisan, gambar, dan berbagai bentuk bahan yang dicetak seperti media grafis dan lain sebagainya. Contoh: Membaca tabel, grafik, denah, bagan, dan lain-lain. 2. Media audiovisual, yaitu jenis media yang selain mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang bisa dilihat, misalnya rekaman video, berbagai ukuran film, slide suara, dan lain sebagainya. Contoh: Membaca cepat teks dalam film asing. 3. Media cetak, seperti: buku, modul, bahan ajar mandiri, buku bacaan sastra, majalah, surat kabar, dan lain sebagainya. Contoh: Membaca pemahaman wacana sastra dan membaca kritis wacana nonsastra. 4. Media berbasis lingkungan, yaitu media yang berada di lingkungan sekitar siswa, contohnya: lingkungan sekolah, perpustakaan, pasar tradisional, tempat wisata, dan lain sebagainya. Pembelajaran Membaca – KKG 27
• Contoh: Menggunakan berbagai barang bekas, misalnya bungkus mie, bungkus obat, daftar harga dari supermarket, dan lai-lain yang dimanfaatkan untuk kegiatan membaca dan menemukan informasi penting dari berbagai barang bekas tersebut. 5. Media berbasis TIK, digunakan dengan pertimbangan perkembangan dunia global yang begitu cepat menembus ruang dan waktu, menyebabkan siswa bisa belajar di mana saja dan kapan saja. Media pembelajaran berbasis TIK ini perlu dikembangkan oleh guru dalam rangka menciptakan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan serta menantang siswa untuk menguasai TIK, sehingga keefektifan pembelajaran itu tercapai. Contoh: Membaca cepat untuk mengetahui KEM (Kecepatan Efektif Membaca) dengan memanfaatkan multimedia misalnya laboratorium komputer yang sudah dilengkapi perangkat lunak bahan kegiatan membaca cepat. F. Pengembangan Langkah-langkah Pembelajaran Membaca Setiap jenis membaca, mempunyai langkah-langkah pembelajaran yang spesifik. Berikut ini langkah-langkah pengembangan langkah-langkah pembelajaran membaca. 1. Pahami isi KD tersebut. Berikut ini contoh KD membaca di SD SD kelas IV semester I: KD: Menemukan pikiran pokok teks agak panjang (150 – 200 kata) dengan cara membaca sekilas. Di dalam KD tersebut ada dua kata kunci, yaitu: a. menemukan pikiran pokok (melalui membaca sekilas) dan b. teks agak panjang (150 – 200 kata). Kata kunci pertama (a) merupakan tujuan akhir dan kata kunci kedua (b) merupakan materi yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. 2. Kembangkan KD tersebut menjadi beberapa indikator (dua atau tiga indikator). Contoh: SD kelas IV semester I: Kompetensi Dasar Indikator Menemukan pikiran pokok teks agak a. Membaca teks (150 – 200 kata) panjang (150 – 200 kata) dengan cara dalam waktu sekilas. Pembelajaran Membaca – KKG 28
• membaca sekilas. b. Menentukan pikiran pokok tiap paragraf dalam teks. c. Menyimpulkan isi teks. 3. Tuliskan langkah-langkah kegiatan untuk mencapai masing-masing indikator tersebut. Setiap indikator minimal dua langkah kegiatan. Setiap langkah pembelajaran yang dikembangkan harus sesuai dengan KD, indikator, materi, dan metode yang dipilih. Berikut ini contoh penjabaran langkah-langkah kegiatan sesuai KD dan indikator. SD kelas IV semester I: Kompetensi Indikator Langkah Pembelajaran Dasar Menemukan 1. Membaca teks 1. Semua siswa diberi teks (150 pikiran pokok teks (150 – 200 – 200 kata) dalam keadaan agak panjang kata) dalam tertutup. (150 – 200 kata) waktu sekilas. 2. Dalam waktu bersamaan dengan cara 2. Menentukan siswa mulai membaca teks. membaca sekilas. pikiran pokok 3. Siswa membaca teks dalam tiap paragraf waktu tertentu. dalam teks. 4. Siswa menuliskan waktu 3. Menyimpulkan selesainya mebaca teks isi teks. tersebut. 5. Siswa menutup kembali teks. 6. Siswa menentukan pikiran pokok tiap paragraf. 7. Siswa menyampaikan pikiran pokok tersebut. 8. Siswa lain menangapi. 9. Siswa menyimpulkan isi teks. 10. Siswa mempresentasikan simpulan ke depan kelas. 11. Siswa lain menanggapi. G. Penentuan Penilaian Pembelajaran Membaca Dalam menentukan penilaian pembelajaran membaca, yang pertama harus diperhatikan oleh guru adalah memahami kompetensi dasar membaca yang harus dikuasai siswa. Selanjutnya, KD tersebut harus dijabarkan menjadi beberapa indikator. Berdasarkan indikator tersebutlah, guru menentukan penilaian yang tepat, baik jenis maupun bentuk penilaiannya. Berikut ini contoh penilaian membaca sesuai KD yang terdapat dalam standar isi di SD. Pembelajaran Membaca – KKG 29
• SD kelas IV semester I: Kompetensi Indikator Penilaian Dasar Menemukan 1. Membaca teks 1. Tes Kinerja pikiran pokok teks (150 – 200 kata) (Mengukur kecepatan agak panjang dalam waktu efektif membaca tiap (150 – 200 kata) sekilas. siswa). dengan cara 2. Menentukan 2. Tes Tulis membaca sekilas. pikiran pokok a. Menentukan pikiran salah satu pkok salah satu paragraf dalam paragaf. teks. b. Menyimpulkan isi teks. 3. Menyimpulkan isi teks. H. Tindak Lanjut Pembelajaran Membaca Kegiatan tindak lanjut setelah kegiatan pembelajaran merupakan upaya guru untuk memperbaiki dan/atau meningkatkan pembelajaran. Dalam setiap kegiatan pembelajaran, diharapkan siswa dapat mencapai kompetensi dasar yang ada. Karena itu, sebelum kegiatan pembelajaran, guru sudah menentukan kriteria ketuntasan minimal setiap kompetensi dasar membaca. Setelah kegiatan pembelajaran membaca, siswa yang tuntas mencapai KKM yang diharapkan diberikan program pengayaan, sedangkan siswa yang tidak mencapai KKM yang diharapkan berarti tidak tuntas pada KD tersebut dan kepada siswa tersebut diberikan perbaikan. Untuk memudahkan guru membuat rancangan tindak lanjut kegiatan pembelajaran membaca, berikut ini contoh tabel yang dapat dipergunakan oleh guru. No. KD KKM Tuntas Tidak Pengayaan Perbaikan Tuntas 1 2 3 4 5 6 7 Keterangan: 1. Tuliskan nomor urut KD membaca. 2. Tuliskan semua KD membaca dalam semester yang bersangkutan. 3. Tuliskan KKM masing-masing KD membaca tersebut. 4. Berikan tanda cek (√) bila setelah kegiatan pembelajaran KD membaca tersebut tuntas (minimal sesuai dengan KKM). 5. Berikan tanda cek (√) bila setelah kegiatan pembelajaran KD membaca tersebut tidak tuntas (tidak mencapai KKM). 6. Tuliskan rencana pengayaan bila KD membaca tersebut tuntas (minimal sesuai dengan KKM). 7. Tuliskan rencana perbaikan bila KD membaca tersebut tidak tuntas (tidak mencapai KKM). Pembelajaran Membaca – KKG 30
• BAB IV RANGKUMAN A. Konsep Membaca Membaca merupakan proses berpikir atau bernalar (proses aktif dan bertujuan) yang dilakukan melalui proses mempersepsi dan memahami informasi serta memberikan makna terhadap bacaan yang dilakukan oleh pembaca. Proses tersebut dilakukan dengan strategi tertentu melalui kegiatan visual untuk mencocokkan huruf atau melafalkan lambang bahasa tulis untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis. Dalam membaca, pembaca mengolah informasi secara kritis, kreatif yang dilakukan dengan tujuan memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh. Pada akhirnya pembaca dapat memberikan penilaian terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan dampak bacaan tersebut. Jenis membaca ada dua yaitu: (1) membaca nyaring, dan (2) membac dalam hati. Membaca dalam hati ada dua jenis yaitu: (1) membaca ekstensif, dan (2) membaca intensif. Teknik membaca ada lima langkah yaitu: (1) survey, (2) question, (3) read, (4) recite (recall), dan (5) review. Faktor-faktor yang mempengaruhi membaca ada empat yaitu faktor: (1) kognitif, (2) afektif, (3) teks bacaan, dan (4) penguasaan bahasa. B. Konsep Pembelajaran Membaca Belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Karena itu, empat keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis) harus disampaikan secara seimbang dan terpadu. Yang dimaksud seimbang adalah dalam setiap kegiatan pembelajaran, keempat aspek keterampilan berbahasa tersebut muncul, minimal tiga aspek. Salah satu aspek menjadi fokus kegiatan pembelajaran (sesuai KD yang saat itu akan diajarkan), sementara aspek yang lain mengikutinya. Maksud dari terpadu adalah aspek keterampilan berbahasa tersebut diajarkan secara terpadu dengan komponen kesastraan dan kebahasaan. Dalam pelaksanaan pembelajaran membaca, terlebih dulu guru harus melakukan pemilihan bahan, metode, media, dan penilaian yang sesuai dengan KD membaca yang akan disampaikan. Melalui pemilihan yang tepat, guru dapat merancang suatu kegiatan pembelajaran membaca dengan baik. Pada akhirnya, guru dapat menyajikan kegiatan pembelajaran membaca secara lancar, menyenangkan, dan bermakna. Pembelajaran Membaca – KKG 31
• C. Rancangan Pembelajaran Membaca Dalam merancang pembelajaran membaca, guru melakukan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Memetakan KD membaca dengan cara mengurutkan KD mudah lebih dahulu baru KD sulit. 2. Menghitung alokasi waktu per-KD berdasarkan perhitungan pekan efektif satu semester atau satu tahun. 3. Menjabarkan KD membaca menjadi beberapa indikator. 4. Menentukan materi pembelajaran yang sesuai dengan KD. 5. Menentukan metode yang akan diterapkan dalam pembelajaran KD tersebut. 6. Menjabarkan langkah-langkah pembelajaran sesuai KD dan metode yang telah dipilih. 7. Menentukan penilaian sesuai dengan KD dan indikator yang dipilih. Berdasarkan langkah-langkah tersebut, guru selanjutnya dapat menuangkannya dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Contoh RPP KD membaca dapat dilihat pada lampiran. Pembelajaran Membaca – KKG 32
• BAB V PENILAIAN A. Konsep Membaca Untuk mengetahui pemahaman Anda tentang konsep membaca, silakan jawab pertanyaan berikut ini. 1. Jelaskan pengertian membaca (menurut salah satu pakar)! 2. Uraikanlah tujuan membaca! 3. Sebutkanlah jenis-jenis membaca (menurut salah satu pakar)! 4. Uraikanlah teknik membaca (menurut salah satu pakar)! 5. Jelaskanlah tahap-tahap dalam kegiatan membaca! 6. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi membaca! B. Konsep Pembelajaran Membaca Selanjutnya untuk mengetahui kemampuan Anda tentang pembelajaran membaca, jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini! 1. Uraikanlah konsep pembelajaran membaca! 2. Jelaskanlah karakteristik pembelajaran membaca! 3. Bagaimanakah kriteria pemilihan bahan pada pembelajaran membaca? 4. Jelaskanlah salah satu metode yang dipakai pada pembelajaran! membaca. 5. Media apa sajakah yang dapat dipakai pada pembelajaran membaca? 6. Bagaimanakah kriteria penilaian pada pembelajaran membaca? C. Rancangan Pembelajaran Membaca Bacalah kompetensi dasar membaca pada salah satu kelas dalam standar isi. Kemudian berdasarkan standar isi tersebut, kerjakan tugas-tugas berikut ini! Buatlah pemetaan kompetensi dasar pembelajaran membaca! 1. Jabarkan salah satu kompetensi dasar ke dalam indikator sesuai dengan karakteristik peserta didik, satuan pendidikan, dan lingkungan! 2. Tentukan materi dan sumber belajar sesuai KD dan indikator tersebut! Pembelajaran Membaca – KKG 33
• 3. Tentukan metode yang relevan dengan pembelajaran membaca dari salah satu KD yang telah dijabarkan menjadi indikator tersebut! 4. Tentukan media yang relevan dengan pembelajaran membaca dari KD tersebut! 5. Buatlah pengembangan langkah-langkah pembelajaran membaca sesuai dengan pengembangan indikator! 6. Tentukan penilaian yang dipakai pada pembelajaran membaca sesuai dengan indikator yang telah dikembangkan! 7. Buatlah rancangan tindak lanjut pembelajaran membaca berdasarkan KD tersebut! (Berdasarkan tugas nomor 2 sampai dengan 7, Anda akan dapat menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran/RPP yang baik). Pembelajaran Membaca – KKG 34











• DAFTAR PUSTAKA
Kamidjan. 1996. Teori Membaca. Surabaya: JPBSI FPBS IKIP Surabaya. Nurgiyantoro,
Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
Nurhadi. 1987. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung: Sinar Baru dan YA3 Malang.
Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV Alfabeta.
Soedarso. 2001. Speed Reading: Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Syafi’ie, Imam. 1994. Pengajaran Membaca Terpadu. Bahan Kursus Pendalaman Materi Guru Inti PKG Bahasa dan Sastra Indonesia. Malang: IKIP.
Syafi’ie, Imam. 1999. Pengajaran Membaca di Kelas-kelas Awal Sekolah Dasar. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pengajaran Bahasa Indonesia pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Dsampaikan pada Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang pada Tanggal 7 Desember 1999. Malang: Universitas Negeri Malang.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Membaca: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Zuchdi, Darmiyati. 2007. Strategi Meningkatkan Kemampuan Membaca: Peningkatan Komprehensi. Yogyakarta: UNY Press. Pembelajaran Membaca – KKG 35

Senin, 11 Juli 2011

makalah ipi

BAB I
PEMBAHASAN
Sejarah telah membuktikan betapa besar peran peradaban Islam dalam dunia pendidikan, yang mana pada masa kejayaannya, peradaban Islam telah melahirkan para tokoh serta ilmuwan yang mampu menuangkan pemikiran-pemikirannya terkhusus dalam dunia pendidikan. Dari pemikiran-pemikiran para tokoh inilah perkembangan zaman dapat disertai dengan ilmu pengetahuan. Dalam makalah ini akan diuraikan pemikiran Ibnu Sina dan Al-Ghazali tentang konsep pendidikan dalam perspektif Islam.
A. KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IBNU SINA
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, ibnu sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah raga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat).
Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti di harapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya hayalnya.
Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil (manusia yang sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi diinya secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengenbangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat.

B. KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-ghazali dilahirkan di Thus, sebuah Kota di khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara.
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan, kurikulum, metode, etika guru, dan etika murid.

1. Tujuan Pendidikan
Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melaliu pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi, disamping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan islam, tampak pula cenderung pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itulsh yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di ahkirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliautermasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.
2. Kurikulum Pendidikan
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
b. Ilmu yang terpuji, sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karma dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazalimembagi lagi menjadi dua bagian dilihatdari kepentingannya, yaitu:
a. Ilmu yang fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu agama.
b. Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti : ilmu hitung, kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Kurikilum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
a. Kecenderungan agama dan tasawuf.
b. Kecenderungan pragmatis.
3. Metode Pengajaran
Perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia sekaligus yang paling agung .pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-quran dan hadits Nabi yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas kenabian.
Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud termulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bahkan, kaum muslimin pada zaman dahulu amat mementingkan menuntut ilmu yang langsung diterima dari mulut seorang guru. Mereka tidak suka menuntut ilmu dati buku-buku dan kitab-kitab saja, sebagian mereka berkata “ Diantara malapetaka yang besar yaitu berguru pada buku, maksudnya belajar dengan membaca buku tanpa guru”, dalam sebuah kitab dikatakan “Barang siapa yang tiada berguru, maka syetanlah imammya”.

4. Kriteria Guru Yang Baik
Menurut Al-Ghazali, bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah selain guru yang cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaanakal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya guru dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugasnya mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum di atas, seorang guru juga memiliki sifat-sifat khusus sebagai berikut:
• Mencintai murid seperti mencintai anaknya sendiri.
• Jangan mengharapkan materi sebagai tujuan utama karena mengajar adalah tugas yang diwariskan Rasulullah SAW.
• Mengingatkan murid bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
• Guru harus mendorong muridnyauntuk mencari ilmu yang bermanfaat.
• Guru harus memberikan tauladan yang baik di mata muridnya sehingga murid senang mencontoh tingkah lakunya.
• Guru harus mengajarkan pelajaran sesuaitingkat kemampuan akal anak didik.
• Guru harus mengamalkan ilmunya.
• Guru harus bias mengetahui jiwa anak didiknya.
• Guru dapat mendidik keimanan ke dalampribadi anak didiknya.

5. Sifat Murid Yang Baik
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka belajar termasuk ibadah. Dengandasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Seorang murid harus memulyakan guru dan bersikap rendah hati.
• Harus saling menyayangi dan tolong-menolong sesama teman.
• Mempelajari bermacam-macam ilmu dari tiap-tiap ilmu tersebut.
• Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari perbuatan hina dan tercela.
• Seorang murid hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib.
• Seorang murid hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap.
• Seorang murid hendaknya mengetahui nilai setiap ilmu yang dipelajarinya.

6. Ganjaran dan Hukuman
Selanjutnya Al-Ghazali berkata:Apabila anak-anak itu berkelakuan baik dan melakukan pekerjaan yang bagus, hormatilah ia dan hendaknya diberi penghargaan dengan sesuatu yang menggembirakannya, serta dipuji di hadapan orang banyak. Jika ia melakukan kesalahan satu kali, hendaknya pendidikmembiarkan dan jangan dibuka rahasianya. Jika anak itu mengulanginya lagi, hendaknya pendidik memarahinya dengan tersembunyi, bukan dinasehati di depan orang banyak, dan janganlah pendidik seringkali memarahi anak-anak itu, karena hal itu dapat menghilangkan pengaruh pada diri anak, sebab sudah terbiasa telinganya mendengarkan amarah itu.
Metode pemberian hadiah dan hukuman untuk tujuan mendidik dipandang sebagai metode yang aman. Terlalu banyak melarang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian pula terlalu banyak memberikan pujian tidak menjadi penyebab terjadinya perbaikan. Dalam berbagai kesempatan Al-Gazali menerangkan bahwa membesarkan anak dengan kemanjaan, bersenang-senang dan bermalas-malasan serta meremehkan pergaulan bersama orang lain termasuk perkara yang tidak baik karena membesarkan anak dengan cara seperti ini akan merusak akhlaknya .
Antara konsep pemikiran pendidikan islam dari kedua tokoh diatas yang masih sangat relevan sekali untuk diaplikasikan di zaman sekarang, adalah konsep pemikiran pendidikan islam menurut ibnu sina, karena pendidikan yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina ini sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang ini, bahkan di sekolah-sekolah Unggulan saat ini masih menggunakan konsep pendidikan seperti yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina, mulai dari tujuan pendidikannya sampai kriteria seorang guru yang diharapkan dalam pendidikan Islam. Hal ini nampak bahwa konsep pendidikan Islam yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina benar-benar mengupayakan peningkatan mutu pendidikan Islam.
Dalam konteks ke Indonesiaan rakyat tidak harus bingung untuk mencari pendidikan, di negeri ini lembaga pendidikan sangat banyak dan beragam, bagi yang beragama Islam, mereka bisa memilih lembaga pendidikan seperti, Pondok Pesantren dan juga madrasah. Dan juga ada sekolah umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan Ilmu dan memberdayakan masyarakat. Warga diberikan kebebasan untuk memilih lembaga pendidikan yang ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Bagi orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi yang berkeinginan ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur madrasah.
Pondok pesantren, madrasah dan sekolah Islam terpadu adalah instansi yang mempunyai tujuan sama namun berbeda dalam pengelolaannya dan masing-masing mempunyai ciri khas. Ditengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan yang ada, tidak sedikit terjadi persaingan diantara lembaga pendidikan yang ada.
2.pendidikan di pondok pesantren,madrasah, sekolah islam terpadu
Dalam konteks keIndonesiaan rakyat tidak harus bingung untuk mencari pendidikan, di negeri ini lembaga pendidikan sangat banyak dan beragam, bagi yang beragama Islam, mereka bisa memilih lembaga pendidikan seperti, Pondok Pesantren dan juga madrasah. Dan juga ada sekolah umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan Ilmu dan memberdayakan masyarakat. Warga diberikan kebebasan untuk memilih lembaga pendidikan yang ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Bagi orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi yang berkeinginan ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur madrasah.
Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan sama, namun berbeda dalam pengelolaannya. Diantara ketiga lembaga ini masing-masing mempunyai ciri khas. Ditengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan yang ada, tidak sedikit diantara lembaga pendidikan yang ada terjadi persaingan. Kenyataan di lapangan perebutan dan kompetisi memang benar terjadi, dan tidak jarang juga kita temukan dilapangan kompetisi antar lembaga pendidikan yang ada sering tidak fair dan menimbulkan kecemburuan satu sama lainnya.
Bentuk ketidak fair an antar lembaga pendidikan yang ada juga diwujudkan dalam bentuk ketidak obyektifan dalam menilai lembaga pendidikan yang ada. Dahulu pondok pesantren sering mendapatkan stigma negatif dari sebagian masyarakat, lembaga pendidikan kolot, kumuh, ndeso, tidak maju, dan lembaga akhirat adalah beberapa stigma yang sering dinisbatkan pada lembaga pendidikan murni pribumi ini, tentunya hal ini menimbulkan dampak negatif bagi keberlangusngan Pondok Pesantren, banyak masyarakat yang kemudian ragu menempatkan anak-anaknya menuntut ilmu di Pondok Pesantren, padahal sejatinya stigma-stigma negatif yang bermunculan di masyarakat tidaklah benar semua, kalapun ada itu hanya seberapa yang tidak cukup mewakili dari sekian banyak Pondok Pesantren yang ada di Indonesia.
Sekolah dan madrasah pun tak luput dari stigma negatif yang muncul pada sebagian masyarakat. Sekolah sering mendapatkan pandangan sebagai lembaga pencetak kader kapitalis, mementingkan kehidupan sekuler dan masih banyak lainnya. Kualitas tidak jelas, berpikir mundur, banyak beban pelajaran dan sekolahnya anak desa adalah beberapa stigma negatif yang muncul terhadap madrasah. Dari sekian banyak stigma negatif yang bermunculan di masyarakat, adalah menjadi tantangan dan tugas para pendidik termasuk pemerintah untuk membenahinya sedikit demi sedikit, khawatir kalau hal ini tidak segera ditindak lanjuti akan menimbulkan sikap apriori dan masa bodoh masyrakat terhadap beberapa lembaga pendidikan yang ada, yang kemudian berakibat enggannya masyarakat untuk mencari ilmu dan pendidikan melalui lembaga pendidikan yang ada.
Berangkat dari sini penulis mencoba sedikit membahas lebih jauh terkait dengan beberapa lembaga pendidikan yang ada, yakni Pondok Pesantren, Madrasah dan Sekolah dalam tinjauan filosofis, guna memahami fungsi, peran dan perbedaan diantara ketiga lembaga tersebut.
B. Pembahasan
1. 1. Pondok Pesantren
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai beberapa lembaga pendidikan yang ada seperti Pondok Pesantren, Madrasah dan Sekolah, terlebih dahulu kita sedapat mungkin mampu memahami pengertian dari ketiga lembaga tersebut. Sejatinya ketiga lembaga tersebut tidak memiliki perbedaan yang mendasar, karena masing-masing lembaga ini mempunyai misi untuk memberikan ilmu dan pendidikan kepada semua peserta didik yang belajar pada lembaga tersebut, namun yang menjadikan berbeda satu sama lainnya adalah mengenai sistem, managemen, style dan tujuan pada ketiga lembaga tersebut.
Mengenai asal-usul pondok pesantren, terdapat dua pandangan yang sebenarnya saling melengkapi. Menurut Karel A. Steenbrink yang mengutip dari Soegarda Purbakawatja, menyatakan bahwa pendidikan pondok pesantren jika dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India dan dari masyarakat Hindu. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan banyak tersebar di Pulau Jawa, sistem tersebut kemudian diambil alih oleh Islam. Sementera Mahmud Yunus menyatakan, bahwa asal-usul pendidikan yang digunakan pondok pesantren berasal dari Baghdad dan merupakan bagian dari sistem pendidikan saat itu.
Pondok pesantren adalah gabungan dari dua kata, yakni Pondok dan pesantren. Masing-masing kata ini mengandung makna yang berbeda satu sama lainnya, namun kedua-duanya memiliki hubungan yang sangat erat sehingga dikemudian hari membentuk satu kesatuan pemahaman yang tidak dapat dipisahkan. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab fundug, yang berarti hotel atau asrama, atau dalam pengertian lain pondok adalah asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bamboo. Sedangkan istilah Pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan Pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Namun menurut Profesor Johns, santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedangkan menurut C.C. Berg istilah Santri berasal dari bahasa India, Shastri yang berarti adalah orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata Shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu Pengetahuan.
Dengan kata lain, Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seseorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal. Menurut lembaga Research Islam, pesantren adalah ”suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya. Atau dapat juga difahami Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tumbuh ditengah masyarakat dengan ciri, santri (murid) diasramakan dalam proses mencari dan mendalami ilmu agama dibawah asuhan dan bimbingan Kyai dan ustad yang berkharisma.
Dalam lembaga pendidikan pesantren terdapat beberapa varian yang sangat penting dalam perjalanannya sebagai lembaga pendidikan, setidaknya terdapat lima (5) varian yang penting dan terikat dalam pondok peosantren, walaupun sebenarnya jumlah varian ini tidak mutlak lima, semua tergantung pada masing-masing pondok pesantren tersebut. Kelima varian tersebut meliputi Kyai (Ulama), pondok (asrama), masjid (mushola), santri dan proses pembelajaran dan pengkajian kitab-kitab klasik atau biasa dikenal dengan istilah Kitab Kuning. Namun perlu dicermati bahwa seiring dengan perkembangan zaman, banyak pondok pesantren pada perkembangannya mendirikan lembaga pendidikan formal. Hal ini kemudian mau tidak mau menambah varian lain dalam menangani perjalanan pondok pesantren tersebut, bisa saja varian tamabahannya adalah, managemen, yayasan, sistem, pengurus, organisasi, tata tertib dan mungkin juga yang lainnya, yang tentunya tambahan varian dalam pondok pesantren disesuaikan dengan kebutuhannya.
1. a. Pondok
Yang menjadi salah satu Ciri khas dari pondok pesantren adalah semua murid (santri) yang mencari ilmu tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang kyai dengan model menginap. Tempat tinggal sesaat untuk para santri ini yang kemudian oleh orang jawa dipopulerkan dengan istilah pondok.
Pondok, atau tempat tinggal para santri merupakan ciri khas dari tradisi dan sistem pendidikan pesantren dengan lemaga pendidikan serupa lainnya baik di dalam ataupun di luar negeri. Seperti halnya yang dilakukan pada negara Afganistan, para murid dan guru yang belum menikah mereka semua tinggal di masjid.
Istilah pondok dengan asrama menurut Saefudin Zuhri berbeda, beliau secara tegas membedakan bahwa pondok bukanlah ”asrama” atau internaat, menurutnya jika asrama telah disiapkan bangunanya sebelum calon penghuninya datang, dan biasanya asrama di bangun oleh kalangan berada dengan keadaan ekonomi yang mapan. Sedangkan pondok justru didirikan atas dasar gotong royong dari santri yang telah belajar di pesantren dengan dibantu oleh masyarakat yang nota bene mereka termasuk kategori ekonomi yang pas-pasan. Maka tak heran hubungan santri atau masyarakat dengan pesantren mempunyai ikatan yang sangat erat, karena adanya rasa memiliki pada lembaga pesantren tersebut, hal ini berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya.
Terdapat beberapa sebab mengapa lembaga pendidikan pesantren harus menyediakan pondok (asrama) untuk tempat tinggal para santri dalam mencari ilmu. Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam, hal ini merupakan daya tarik para santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama, sehingga untuk keperluan hal itulah seorang santri harus tinggal menetap. Kedua, hampir sebagian besar pesantren berada di desa-desa yang jauh dari keramaian dan kekuasaan serta tidak rersediannya perumahan yang cukup untuk menampung para santri, dengan demikian diperlukan adanya pondok khusus. Ketiga, adanya timbal balik antara santri dengan kyai, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan kyai memperlakukan santri seperti anaknya sendiri juga. Sikap timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus.
Selain itu kelebihan dari model pondok ini adalah, terciptanya suasana lingkungan belajar yang kondusif, semangat belajar, keakraban antara santri dengan santri, juga antara santri dengan kyai atau guru, kemandirian, tanggung jawab dan pengawasan 24 jam baik dari antar santri ataupun dari kyai, serta masih banyak lagi keunggulan dari pendidikan model pondok. Maka tak heran pada akhir-akhir ini kemudian banyak bermunculan lembaga pendidikan formal yang meniru dengan lembaga pesantren yang didirikan oleh para kyai, hal ini setidak nya dapat dilihat dari munculnya istlilah boarding school (kelas asrama) pada beberapa lembaga pendidikan formal baik yang negeri ataupun swasta.
1. b. Masjid
Kedudukan msajid sebgai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi univesalisme dari sistem pendidikan Islam yang pernah dipraktekan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, telah terjadi proses yang berkesinambungan fungsi masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim. Tradisi penggunaan masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim diteruskan oleh para sahabat dan khalifah berikutnya. Dimanapun kaum muslimin berada masjid sebagai pilihan ideal bagi tempat pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian, kegiatan administrasi dan kultural, bahkan ketika belum ada madrasah dan sekolah yang menggunakan sistem klasikal, masjid merupakan tempat paling feresantatif untuk menyelenggarakan pendidikan.
Secara etimologis menurut M. Quraish Shihab, masjid berasal dari bahasa Arab ”sajada” yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan hormat dan takdzim. Sedangkan secara terminologis, masjid merupakan tempat aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah SWT.Masjid memiliki fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah lainnya, juga sebagai tempat pengajian terutama yang masih memakai metode sorogan dan wetonan (bandongan).
Posisi Masjid di kalangan pesantren mempunyai makna sendiri. Menurut KH. Abdurahman Wahid, masjid sebagai tempat untuk mendidik dan menggembleng santri agar lepas dari hawa nafsu, keberadaannya ditengah-tengah komplek pesantren adalah mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada pegunungan. Hal ini sebagai indikasi bahwa nilai-niali kultural masyarakat setempat dipertimbangkan untuk dilestarikan oleh pesantren.
1. c. Santri
Santri adalah istilah lain dari murid atau siswa yang mencari ilmu pada lembaga pendidikan formal, bedanya santri ini mencari ilmu pada pondok pesantren. (Adapun Asal muasal kata santri dapat dilihat pada halaman sebelumnya). Dalam dunia pesantren istilah santri terbagi menjadi dua kategori.
Pertama, santri mukim, yaitu santri yang berasal dari luar daerah pesantren yang hendak bermukim dalam mencari ilmu. Ketika hendak berniat untuk bermukim, santri tidak perli disibukan dengan membawa perlengkapan tidur seperti layaknya dirumah. Karena dalam lingkungan pesantren sudah ditanamkan kesederhanaan dan tanggungjawab. Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren terebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggungjawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga bertanggungjawab mengajar santri –santri yunior tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
Kedua, santri kalong, yaitu para santri yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren.mereka bolak-balik (ngelajo) dari rumahnya sendiri. Para santri kalong berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas lainnya. Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim daripada santri kalong, maka pesantren tersebut adalah pesantren besar. Dan sebaliknya, pesantren kecil memliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.
1. 2. Madrasah
Sejatinya madrasah dalam peta dunia pendidikan di Indonesia bukanlah suatu lembaga yang indegenous (pribumi). Setidaknya hal ini dapat dilihat dari kata ”madrasah” itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab. Secara harfiah, kata ini berarti atau setara maknanya dengan kata Indonesia, yakni ”sekolah”, (kata ini juga sebenarnya bukanlah kata asli Indonesia melainkan bahasa Inggris ”school ataupun scola, namun kata ini dialihkan dan di bakukan menjadi bahasa Indonesia.
Madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Maksudnya adalah, di madrasah inilah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Dengan demikian, secara teknis madsarah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madarasah ini mempunyai konotasi spesifik. Yakni sebagai lembaga pendidikan yang dalam proses pembelajaran dan pendidikannya menitikberatkan pada persoalan agama. Kata madrasah, yang secara harfiah identik dengan sekolah agama, lambat laun sesuai dengan perjalan peradaban bangsa mengalami perubahan dalam meteri pelajaran yang diberikan kepada anak peserta didiknya, madrasah dalam kegiatan pembelajarannya mulai menambah dengan mata pelajaran umum yang tidak melepaskan diri dari makna asalnya yang sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.
Pada dasarnya madrasah dengan pondok pesantren tidak jauh berbeda, masing-masing mempunyai model dan tujuan yang sama dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam catatan sejarah madrasah lahir dari lingkungan pondok pesantren, atau dengan kata lain madrasah adalah perluasan dan pengembangan pendidikan dari pondok pesantren yang mempunyai misi untuk mencerdaskan anak bangsa yang pada saat itu belum ada keinginan untuk tinggal atau menginap di pondok dalam proses belajarnya. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari para pendiri awal lembaga pendidikan Madrasah yang sebagian besar didirikan oleh para Ulama yang menjadi pengasuh dan sekaligus pendiri Pondok Pesantren pada lembaganya masing-masing. Diawali oleh Syekh Amrullah Ahmad (1907) di Padang mendirikan Madrasah, KH. Ahmad Dahlan (1912) di Yogyakarta, KH Wahab Hasbullah bersama KH Mansyur (1914) dan KH. Hasym asy’ari yang pada tahun 1919 mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang.
Instutisi ini memang lahir pada kurun awal abad 20 M, yang saat itu dapat dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Memasuki abad 20 M, banyak orang-orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia, apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam. Munculnya kesadaran kritis tersebut di kalangan umat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kiprah kaum terdidik lulusan pendidikan Mesir atau Timur Tengah yang telah banyak menyerap semangat pembaruan (modernisme) di sana, sekembalinya ke tanah air mereka melakukan pengembangan pendidikan barr yang lazim disebut madrasah dengan menerapkan metode dan kurikulum baru
Munculnya madrasah menurut para sejarawan pendidikan sebagai salah satu bentuk pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Alasannya adalah secara historis awal kemunculan madrasah dapat dilihat pada dua situasi; adanya pembaruan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda. Dari sini dapat diartikan bahwa munculnya madrasah mengandung kritik pada lembaga pendidikan sebelumnya, yakni pondok pesantren. Dapat dikatakan munculnya madrasah sebagai usaha untuk pembaruan dan menjembatani hubungan antara sistem tradisional (pesantren) dengan sistem pendidikan modern. Dan hal ini juga merupakan sebagai upaya penyempurnaan terhadap sistem pendidikan di pondok pesantren kearah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah yang umum. Maka tak heran belakangan banyak bermunculan madrasah dilingkungan pondok pesantren.
Selain bentuk dari kritikan atas pesantren, Berdirinya madrasah pada lingkungan pondok pesantren ini awal mulanya adalah untuk menampung keinginan dari para santri yang tidak hanya ingin mengaji semata namun juga ingin sekolah pada lembaga pendidikan formal yang kemudian pada akhirnya mendapatkan ijazah. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari beberapa wilayah di pulau jawa, madura, sumatera dan kalimantan yang banyak sekali bermunculan madrasah pada lingkungan pondok pesantren.
Banyaknya madrasah yang bermunculan pada lingkungan pondok pesantren ini, kemudian oleh Mukti Ali sering disebut dengan Madrasah dalam Pesantren. Kemudian dalam perkembanganya model madrasah yang seperti ini sering di istilahkan sebagai Madrasah Berbasis Pesantren.Maraknya madrasah pada lingkungan madrasah, menurut Steenbrink, tidak serta merta kemudian menghapus tradisi pesantren yang sudah ada dan bertahan lama, hal ini setidaknya dapat diliha dari tradisi-tradisi keagamaan, tradisi intelektual dan tradisi kepemimpinan khas pesantren masih banyak di temukan pada madrasah yang berada di lingkungan pesantren.
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural., oleh karenanya timbul kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini mempunyai citra ”eksklusif” dalam penilaian masyarakat. Karena dalam catatan sejarah, madarasah pernah menjadi lembaga pendidikan par excellence di dunia Islam, hal ini terjadi karena kedudukannya yang sedemikian prestisius di mata umat Islam. Melalui lembaga ini, dinamika intelektual-keagamaan mencapai puncaknya, kendati memang eksistensinya belum bisa terlepas sepenuhnya dari kepentingan politik penguasa.
Selanjutnya setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui Badan Pekerja Nasional Pusat (BPNIP) sebaga badan legislatif pada saat itu, dalam pengumumannya tertanggal 22 Desember 1945 (berita RI tahun II No. 4 dan 5 halaman 20 kolom 1) berbunyi, ” Dalam memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangnya diusahakan agar pengajaran di lamggar-langgar dan madrasah tetap berjalan terus dan di perpesat”. Setelah pengumuman di bacakan, BPNIP memberi masukan kepada pemerintah saat itu agar madrasah dan pondok pesantren mendapatkan perhatian dan bantuan materil dari pemerintah guna memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan pada lembaga tersebut, karena madrasah dan pondok pesantren pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya.
Guna merespon apa yang telah diumumkan dan masukan dari BPNIP kepada pemerintah yang terbentuk, maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah membentuk kementerian Agama, kementrian yang baru ini dalam sturktur organisasinya pada bagian C memuat tentang tugas pada bagian pendidikan adalah mengurusi masalah-masalah pendidikan agama di sekolah umum dan masalah-masalah pendidikan di sekolah agama (madrasah dan pondok pesantren). Dan tidak lama kemudian Mentri Agama yang pada saat itu di jabat oleh K.H. Wahid Hasym mengeluarkan peraturan Mentri Agama No. 1 tahun 1946 tentang pemberian bantuan kepada madrasah yang kemudian di sempurnakan dan terakihr dengan peraturan Mentri Agama no. 3 tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada Perguruan Agama Islam. Kemudian guna mengantisipasi adanya dikotomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum, maka Mentri Agama pada saat itu mengajurkan kepada semua madrasah untuk memasukan tujuh mata pelajaran di lingkungan madrasah, yaitu, pelajaran membaca dan menulis, ilmu hitung, bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi dan olah raga.
Kemudian guna memajukan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah dan mengembangkan sistem pendidikan nasional yang integral, kementrian Agama yang saat itu dijabat oleh Mukti Ali pada tahun 1975 mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Mentri Agama, Mentri Pendidikan dan Kebudayaan dan Mentri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1975 037/U/1975 dan No. 36 Tahun 1975 pada tanggal 24 Maret 1975 beserta Instruksi Presiden no. 15 Tahun 1974 pada sidang kabinet terbatas tertanggal 26 November 1974. adapun substansi dari SKB tersebut adalah,
Pertama, ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat. Kedua, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas. Dan Ketiga, siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Setelah melewati sejarah dan waktu yang panjang penuh dengan dinamika, akhirnya madrasah semakin mendapatkan tempat dan pengakuan dari pemerintah. Undang-undang sisdiknas tahun 2003 telah semakin mempertegas posisi dan kedudukan madrasah yang setara dengan sekolah umum lainnya. Oleh karenannya masyarakat ataupun pemerintah tidak boleh lagi mendikotomikan antara sekolah umum dengan sekolah agama, karena materi dan kebijakan-kebijakan yang biasanya melekat pada lembaga pendidikan umum seperti, UAN, KBK dan KTSP juga berlaku bagi madrasah
Kalau kita lihat dari sejarah sosial pendidikan, dinamika munculnya madrasah adalah merupakan manifestasi dari perubahan tuntutan sosial umat Islam dari waktu ke waktu untuk menuntut adanya kualitas pendidikan yang baik dan bermutu dengan tidak melepas pada akarnya yakni sistem pendidikan pondok pesantren. Sudah menjadi keharusan bagi pemerintah yang ada untuk peduli dan memperhatikan eksistensi dari lembaga pendidikan yang asli pribumi (Pondok Pesantren) dengan lembaga yang merupakan hasil dialektika antara pendidikan tradisional dengan pengaruh pendidikan modern barat, yakni madrasah, kita perlu jujur bahwa keberadaan lembaga pendidikan Islam ini sampai sekarang masih tergolong kelas rendahan dengan mutu dan kualitas yang jauh berbeda dengan lembaga pendidikan umum. Ia harus mendapat dukungan penuh dari pelbagai sumber, terutama pemerintah yang dalam pemberian dukungannya harus steril dari aroma politik dan ekonomi, agar lembaga pendidikan Islam ini bisa terus eksis mendampingi dan mengawal perjalanan bangsa pada kemudian harinya.
1. Sekolah Islam Terpadu
sekolah Islam dalam memformulakan pemahaman dan pemikirannya sehingga melahirkan kultur yang mengadabkan manusia. Sekolah Islam mempunyai reputasi tersendiri sebagai lembaga yang bercirikan agama Islam. Pertama, sebagai lembaga pendidikan. Kedua, sebagai lembaga lembaga sosial kemasyarakatan.
sekolah Islam di sini dianggap sebagai lambang permanensies seorang kiyai di komunitas, atau daerah tertentu. sekolah Islam sangat dikagumi karena pandai merubah perilaku masyarakat, memotivasi, atau melakukan perubahan-perubahan. sekolah Islam di Indonesia selalu melakukan terobosan-terobosan guna mempertahankan eksitensinya. ada tiga hal pembaharuan sekolah islam terpadu, yaitu:
1. Usaha menyempurnakan sistem pendidikan pesantren.
2. Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat.
3. Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.

 kelebihan pesantren
1. mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya.
2. Semua materi yg diajarkan dipesantren ini sepenuh bersifat keagamaan yg bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yg ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
3. pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi sebagai sub ordinat yg bergerak pada wilayah dan domaian pendidikan hati yg lebih menekankan pada aspek “afektif pendidikan “ atau “atticude pendidikan” .
4. pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yg memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral baik kognitif (knowlagde) afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill).
5. pesantren tidak menggunakan teori pembanguan seperti yang digunakan pemerintah dan lebih pada gerakan yang dilandaskan pada amal shaleh.
 kekurangan pesantren
1. Di Pesantren belum banyak yg mampu merumuskan visi misi dan tujuan pendidikan secara sistimatik yg tertuang dalam program kerja yg jelas. Sehingga tahapan pencapaian tujuan juga cenderung bersifat alamiyah.
2. System kepeminpinan sentralistik yg tak sepenuh hilang sehingga acapkali mengganggu lancar mekanisme kerja kolektif padahal banyak perubahan yg tak mungkin tertangani oleh satu orang.
3. Dalam merespon perubahan cenderung sangat lamban konsep “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak padahal ibarat orang naik tangga ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yg bawah kaki satu melayang layang diudara bisa jadi terpeleset atau jatuh itu resiko bila takut menghadapi resiko dia tak akan pernah beranjak dari tangga terbawah.
4. Sistem pengajaran kurang efesien demokratis dan variatif sehingga cepat memunculkan kejenuhan pada peserta didik. Dsb.
 Kelemahan Madrasah
1. paradigma pendidikan madrasah yang masih konvensional dan cenderung ekslusif bukannya inklusif.
2. kurangnya perencanaan organisasi madrasah.
3. pendidikan madrasah mementingkan pikiran vertikal di atas literal.
4. Penekanan yang terlalu berlebihan pada ilmu sebagai produk final, bukan pada proses metodologinya.
 Kelebihan Madrasah
1. Kurikulum di madrasah, dibekali oleh kegiatan yang berorientasi pada pembentukan sikap, moral, mental, perilaku, dan skill.
2. Karena ia telah berhasil melahirkan peserta didik yang memiliki budi pekerti luhur serta kesadaran dan pengamalan ajaran agama yang lebih tinggi.
3. Madrasah mampu menghasilkan peserta didik (output) yang memiliki iman dan taqwa serta sekaligus memiliki akses kepada ilmu pengetahuan dan teknologi atau minimal memiliki pengetahuan dan keterampilan tertentu yang diharapkan benar-benar bermanfaat di tengah masyarakat.
 kelebihan sekolah Islam terpadu
1. Banyaknya siswa lebih sedikit, jadi siswa bisa lebih terkontrol.
2. Satu kelas dengan siswa yang lebih sedikit dipegang oleh dua orang guru.
3. Untuk sekolah Islam Terpadu dapat ditanamkan nilai-nilai agama Islam.
4. Memiliki lebih banyak fasilitas.

 kekurangan sekolah islam terpadu
1. Penekanan yang terlalu berlebihan pada ilmu sebagai produk final, bukan pada proses metodologinya.
2. paradigma pendidikan madrasah yang masih konvensional dan cenderung ekslusif bukannya inklusif.
3. pendidikan madrasah mementingkan pikiran vertikal di atas literal.
Lembaga pendidikan islam yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim pada saat ini adalah lembaga pndidikan islam seperti madrasah, karena Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Di dalam salah satu diktum surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri) disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah umum, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Aktivitas yang berorientasi pada tujuan, perlu dicapai melalui jalan menetapkan hubungan tertentu antara sumber daya yang tersedia (sumber daya material dan moneter).
Penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan(sekarang Departemen Pendidikan Nasional). Secara yuridis, keberadaan madrasah dijamin oleh undang-undang SKB tiga menteri (menag, Mendikbud dan Mendagri) Tahun 1975 kedudukan madrasah sama dan sejajar dengan sekolah formal lainnya. Demikian juga dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 ditegaskan ulang bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Kurikulum yang digunakan pun secara umum mengacu kepada kurikulum Dinas dan ditambah kurikulum agama yang dikeluarkan oleh Depag. Oleh karena itu secara teoritis, madrasah seharusnya mampu memberikan nilai lebih bagi para siswanya dibanding sekolah umum.
B. Kesimpulan
Berdasarkan amanat UUD 45 (Pasal 31) setiap rakyat Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak, pemerintah selaku pejabat yang dipilih oleh rakyat dibebankan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional. Guna menjalankan apa yang menjadi amanat UUD 45, maka pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan melalui lembaga pendidikan baik lembaga yang dikelola oleh pemerintah atau dikelola oleh yayasan yang masih tetap berada dalam kordinasi pemerintah.
Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan sama namun berbeda dalam pengelolaannya dan masing-masing mempunyai ciri khas. Ditengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan yang ada, tidak sedikit terjadi persaingan diantara lembaga pendidikan yang ada.
Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan asli Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya, karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader Ulama yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan al hadis secara baik dan benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut KH. Abdurahman Wahid bahwa tradisi keilmuan pesantren tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual yang terjadi pada sepanjang sejarah berkembang dan meluasnya Islam.
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural. oleh karenanya timbul kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini mempunyai citra ”eksklusif” dalam penilaian masyarakat. Karena dalam catatan sejarah, madarasah pernah menjadi lembaga pendidikan par excellence di dunia Islam.
Dengan kehadiran ketiga lembaga pendidika islam tersebut, maka kita dapat menuntut ilmu dengan baik. Agama islam sangat menghargai orang-orang yang berilmu pengetahuan, sehingga hanya mereka pantas mencapai taraf ketinggian dan keutuhan hidup. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Mujadilah: 11
                                
11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa manusia itu untuk dapat menentukan status manusia sebagaimana mestinya adalah harus mendapatkan pendidikan.
حق الوالد على الولد أن يحسن اسمه وأدبه وأن يعلمه الكتابة والسباحة والرماية
وأن لا يرزقه الا طيبا وأن يزوجه إذا أدرك.
“Kewajiban orang tua kepada anaknya adalah member nama yang baik, mendidik sopan santun dan mengajari tulis menulis, renang, memanah, member makan dengan makanan yang baik serta mengawinkannya apabila ia telah mencapai dewasa”.

Islam mengajarkan bahwa anak itu membawa berbagai potensi yang selanjutnya apabila potensi tersebut dididik dan dikembangkan ia akan menjadi manusia yang secara fisik-fisik dan mental yang memadai.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My link

Thanks