Senin, 11 Juli 2011

makalah ipi

BAB I
PEMBAHASAN
Sejarah telah membuktikan betapa besar peran peradaban Islam dalam dunia pendidikan, yang mana pada masa kejayaannya, peradaban Islam telah melahirkan para tokoh serta ilmuwan yang mampu menuangkan pemikiran-pemikirannya terkhusus dalam dunia pendidikan. Dari pemikiran-pemikiran para tokoh inilah perkembangan zaman dapat disertai dengan ilmu pengetahuan. Dalam makalah ini akan diuraikan pemikiran Ibnu Sina dan Al-Ghazali tentang konsep pendidikan dalam perspektif Islam.
A. KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IBNU SINA
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan dan potensi yang dilmilikinya.
Khusus pendidikan yang bersifat jasmani, ibnu sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti olah raga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat).
Melalui pendidikan jasmani olahraga, seorang anak diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan dengan pendidikan budi pekerti di harapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya hayalnya.
Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang perkayuan, penyablonan dsb. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja yang professional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang Insan Kamil (manusia yang sempurna), yaitu manusia yang terbina seluruh potensi diinya secara seimbang dan menyeluruh. Selain harus mengenbangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat.

B. KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-ghazali dilahirkan di Thus, sebuah Kota di khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara.
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan, kurikulum, metode, etika guru, dan etika murid.

1. Tujuan Pendidikan
Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melaliu pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi, disamping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan islam, tampak pula cenderung pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itulsh yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di ahkirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliautermasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.
2. Kurikulum Pendidikan
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
b. Ilmu yang terpuji, sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karma dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazalimembagi lagi menjadi dua bagian dilihatdari kepentingannya, yaitu:
a. Ilmu yang fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu agama.
b. Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti : ilmu hitung, kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Kurikilum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
a. Kecenderungan agama dan tasawuf.
b. Kecenderungan pragmatis.
3. Metode Pengajaran
Perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia sekaligus yang paling agung .pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-quran dan hadits Nabi yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas kenabian.
Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud termulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bahkan, kaum muslimin pada zaman dahulu amat mementingkan menuntut ilmu yang langsung diterima dari mulut seorang guru. Mereka tidak suka menuntut ilmu dati buku-buku dan kitab-kitab saja, sebagian mereka berkata “ Diantara malapetaka yang besar yaitu berguru pada buku, maksudnya belajar dengan membaca buku tanpa guru”, dalam sebuah kitab dikatakan “Barang siapa yang tiada berguru, maka syetanlah imammya”.

4. Kriteria Guru Yang Baik
Menurut Al-Ghazali, bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah selain guru yang cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaanakal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya guru dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugasnya mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum di atas, seorang guru juga memiliki sifat-sifat khusus sebagai berikut:
• Mencintai murid seperti mencintai anaknya sendiri.
• Jangan mengharapkan materi sebagai tujuan utama karena mengajar adalah tugas yang diwariskan Rasulullah SAW.
• Mengingatkan murid bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
• Guru harus mendorong muridnyauntuk mencari ilmu yang bermanfaat.
• Guru harus memberikan tauladan yang baik di mata muridnya sehingga murid senang mencontoh tingkah lakunya.
• Guru harus mengajarkan pelajaran sesuaitingkat kemampuan akal anak didik.
• Guru harus mengamalkan ilmunya.
• Guru harus bias mengetahui jiwa anak didiknya.
• Guru dapat mendidik keimanan ke dalampribadi anak didiknya.

5. Sifat Murid Yang Baik
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka belajar termasuk ibadah. Dengandasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Seorang murid harus memulyakan guru dan bersikap rendah hati.
• Harus saling menyayangi dan tolong-menolong sesama teman.
• Mempelajari bermacam-macam ilmu dari tiap-tiap ilmu tersebut.
• Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari perbuatan hina dan tercela.
• Seorang murid hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib.
• Seorang murid hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap.
• Seorang murid hendaknya mengetahui nilai setiap ilmu yang dipelajarinya.

6. Ganjaran dan Hukuman
Selanjutnya Al-Ghazali berkata:Apabila anak-anak itu berkelakuan baik dan melakukan pekerjaan yang bagus, hormatilah ia dan hendaknya diberi penghargaan dengan sesuatu yang menggembirakannya, serta dipuji di hadapan orang banyak. Jika ia melakukan kesalahan satu kali, hendaknya pendidikmembiarkan dan jangan dibuka rahasianya. Jika anak itu mengulanginya lagi, hendaknya pendidik memarahinya dengan tersembunyi, bukan dinasehati di depan orang banyak, dan janganlah pendidik seringkali memarahi anak-anak itu, karena hal itu dapat menghilangkan pengaruh pada diri anak, sebab sudah terbiasa telinganya mendengarkan amarah itu.
Metode pemberian hadiah dan hukuman untuk tujuan mendidik dipandang sebagai metode yang aman. Terlalu banyak melarang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian pula terlalu banyak memberikan pujian tidak menjadi penyebab terjadinya perbaikan. Dalam berbagai kesempatan Al-Gazali menerangkan bahwa membesarkan anak dengan kemanjaan, bersenang-senang dan bermalas-malasan serta meremehkan pergaulan bersama orang lain termasuk perkara yang tidak baik karena membesarkan anak dengan cara seperti ini akan merusak akhlaknya .
Antara konsep pemikiran pendidikan islam dari kedua tokoh diatas yang masih sangat relevan sekali untuk diaplikasikan di zaman sekarang, adalah konsep pemikiran pendidikan islam menurut ibnu sina, karena pendidikan yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina ini sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang ini, bahkan di sekolah-sekolah Unggulan saat ini masih menggunakan konsep pendidikan seperti yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina, mulai dari tujuan pendidikannya sampai kriteria seorang guru yang diharapkan dalam pendidikan Islam. Hal ini nampak bahwa konsep pendidikan Islam yang diaplikasikan oleh Ibnu Sina benar-benar mengupayakan peningkatan mutu pendidikan Islam.
Dalam konteks ke Indonesiaan rakyat tidak harus bingung untuk mencari pendidikan, di negeri ini lembaga pendidikan sangat banyak dan beragam, bagi yang beragama Islam, mereka bisa memilih lembaga pendidikan seperti, Pondok Pesantren dan juga madrasah. Dan juga ada sekolah umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan Ilmu dan memberdayakan masyarakat. Warga diberikan kebebasan untuk memilih lembaga pendidikan yang ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Bagi orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi yang berkeinginan ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur madrasah.
Pondok pesantren, madrasah dan sekolah Islam terpadu adalah instansi yang mempunyai tujuan sama namun berbeda dalam pengelolaannya dan masing-masing mempunyai ciri khas. Ditengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan yang ada, tidak sedikit terjadi persaingan diantara lembaga pendidikan yang ada.
2.pendidikan di pondok pesantren,madrasah, sekolah islam terpadu
Dalam konteks keIndonesiaan rakyat tidak harus bingung untuk mencari pendidikan, di negeri ini lembaga pendidikan sangat banyak dan beragam, bagi yang beragama Islam, mereka bisa memilih lembaga pendidikan seperti, Pondok Pesantren dan juga madrasah. Dan juga ada sekolah umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan Ilmu dan memberdayakan masyarakat. Warga diberikan kebebasan untuk memilih lembaga pendidikan yang ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Bagi orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi yang berkeinginan ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur madrasah.
Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan sama, namun berbeda dalam pengelolaannya. Diantara ketiga lembaga ini masing-masing mempunyai ciri khas. Ditengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan yang ada, tidak sedikit diantara lembaga pendidikan yang ada terjadi persaingan. Kenyataan di lapangan perebutan dan kompetisi memang benar terjadi, dan tidak jarang juga kita temukan dilapangan kompetisi antar lembaga pendidikan yang ada sering tidak fair dan menimbulkan kecemburuan satu sama lainnya.
Bentuk ketidak fair an antar lembaga pendidikan yang ada juga diwujudkan dalam bentuk ketidak obyektifan dalam menilai lembaga pendidikan yang ada. Dahulu pondok pesantren sering mendapatkan stigma negatif dari sebagian masyarakat, lembaga pendidikan kolot, kumuh, ndeso, tidak maju, dan lembaga akhirat adalah beberapa stigma yang sering dinisbatkan pada lembaga pendidikan murni pribumi ini, tentunya hal ini menimbulkan dampak negatif bagi keberlangusngan Pondok Pesantren, banyak masyarakat yang kemudian ragu menempatkan anak-anaknya menuntut ilmu di Pondok Pesantren, padahal sejatinya stigma-stigma negatif yang bermunculan di masyarakat tidaklah benar semua, kalapun ada itu hanya seberapa yang tidak cukup mewakili dari sekian banyak Pondok Pesantren yang ada di Indonesia.
Sekolah dan madrasah pun tak luput dari stigma negatif yang muncul pada sebagian masyarakat. Sekolah sering mendapatkan pandangan sebagai lembaga pencetak kader kapitalis, mementingkan kehidupan sekuler dan masih banyak lainnya. Kualitas tidak jelas, berpikir mundur, banyak beban pelajaran dan sekolahnya anak desa adalah beberapa stigma negatif yang muncul terhadap madrasah. Dari sekian banyak stigma negatif yang bermunculan di masyarakat, adalah menjadi tantangan dan tugas para pendidik termasuk pemerintah untuk membenahinya sedikit demi sedikit, khawatir kalau hal ini tidak segera ditindak lanjuti akan menimbulkan sikap apriori dan masa bodoh masyrakat terhadap beberapa lembaga pendidikan yang ada, yang kemudian berakibat enggannya masyarakat untuk mencari ilmu dan pendidikan melalui lembaga pendidikan yang ada.
Berangkat dari sini penulis mencoba sedikit membahas lebih jauh terkait dengan beberapa lembaga pendidikan yang ada, yakni Pondok Pesantren, Madrasah dan Sekolah dalam tinjauan filosofis, guna memahami fungsi, peran dan perbedaan diantara ketiga lembaga tersebut.
B. Pembahasan
1. 1. Pondok Pesantren
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai beberapa lembaga pendidikan yang ada seperti Pondok Pesantren, Madrasah dan Sekolah, terlebih dahulu kita sedapat mungkin mampu memahami pengertian dari ketiga lembaga tersebut. Sejatinya ketiga lembaga tersebut tidak memiliki perbedaan yang mendasar, karena masing-masing lembaga ini mempunyai misi untuk memberikan ilmu dan pendidikan kepada semua peserta didik yang belajar pada lembaga tersebut, namun yang menjadikan berbeda satu sama lainnya adalah mengenai sistem, managemen, style dan tujuan pada ketiga lembaga tersebut.
Mengenai asal-usul pondok pesantren, terdapat dua pandangan yang sebenarnya saling melengkapi. Menurut Karel A. Steenbrink yang mengutip dari Soegarda Purbakawatja, menyatakan bahwa pendidikan pondok pesantren jika dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India dan dari masyarakat Hindu. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan banyak tersebar di Pulau Jawa, sistem tersebut kemudian diambil alih oleh Islam. Sementera Mahmud Yunus menyatakan, bahwa asal-usul pendidikan yang digunakan pondok pesantren berasal dari Baghdad dan merupakan bagian dari sistem pendidikan saat itu.
Pondok pesantren adalah gabungan dari dua kata, yakni Pondok dan pesantren. Masing-masing kata ini mengandung makna yang berbeda satu sama lainnya, namun kedua-duanya memiliki hubungan yang sangat erat sehingga dikemudian hari membentuk satu kesatuan pemahaman yang tidak dapat dipisahkan. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab fundug, yang berarti hotel atau asrama, atau dalam pengertian lain pondok adalah asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bamboo. Sedangkan istilah Pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan Pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Namun menurut Profesor Johns, santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedangkan menurut C.C. Berg istilah Santri berasal dari bahasa India, Shastri yang berarti adalah orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata Shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu Pengetahuan.
Dengan kata lain, Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seseorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal. Menurut lembaga Research Islam, pesantren adalah ”suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya. Atau dapat juga difahami Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tumbuh ditengah masyarakat dengan ciri, santri (murid) diasramakan dalam proses mencari dan mendalami ilmu agama dibawah asuhan dan bimbingan Kyai dan ustad yang berkharisma.
Dalam lembaga pendidikan pesantren terdapat beberapa varian yang sangat penting dalam perjalanannya sebagai lembaga pendidikan, setidaknya terdapat lima (5) varian yang penting dan terikat dalam pondok peosantren, walaupun sebenarnya jumlah varian ini tidak mutlak lima, semua tergantung pada masing-masing pondok pesantren tersebut. Kelima varian tersebut meliputi Kyai (Ulama), pondok (asrama), masjid (mushola), santri dan proses pembelajaran dan pengkajian kitab-kitab klasik atau biasa dikenal dengan istilah Kitab Kuning. Namun perlu dicermati bahwa seiring dengan perkembangan zaman, banyak pondok pesantren pada perkembangannya mendirikan lembaga pendidikan formal. Hal ini kemudian mau tidak mau menambah varian lain dalam menangani perjalanan pondok pesantren tersebut, bisa saja varian tamabahannya adalah, managemen, yayasan, sistem, pengurus, organisasi, tata tertib dan mungkin juga yang lainnya, yang tentunya tambahan varian dalam pondok pesantren disesuaikan dengan kebutuhannya.
1. a. Pondok
Yang menjadi salah satu Ciri khas dari pondok pesantren adalah semua murid (santri) yang mencari ilmu tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang kyai dengan model menginap. Tempat tinggal sesaat untuk para santri ini yang kemudian oleh orang jawa dipopulerkan dengan istilah pondok.
Pondok, atau tempat tinggal para santri merupakan ciri khas dari tradisi dan sistem pendidikan pesantren dengan lemaga pendidikan serupa lainnya baik di dalam ataupun di luar negeri. Seperti halnya yang dilakukan pada negara Afganistan, para murid dan guru yang belum menikah mereka semua tinggal di masjid.
Istilah pondok dengan asrama menurut Saefudin Zuhri berbeda, beliau secara tegas membedakan bahwa pondok bukanlah ”asrama” atau internaat, menurutnya jika asrama telah disiapkan bangunanya sebelum calon penghuninya datang, dan biasanya asrama di bangun oleh kalangan berada dengan keadaan ekonomi yang mapan. Sedangkan pondok justru didirikan atas dasar gotong royong dari santri yang telah belajar di pesantren dengan dibantu oleh masyarakat yang nota bene mereka termasuk kategori ekonomi yang pas-pasan. Maka tak heran hubungan santri atau masyarakat dengan pesantren mempunyai ikatan yang sangat erat, karena adanya rasa memiliki pada lembaga pesantren tersebut, hal ini berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya.
Terdapat beberapa sebab mengapa lembaga pendidikan pesantren harus menyediakan pondok (asrama) untuk tempat tinggal para santri dalam mencari ilmu. Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam, hal ini merupakan daya tarik para santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama, sehingga untuk keperluan hal itulah seorang santri harus tinggal menetap. Kedua, hampir sebagian besar pesantren berada di desa-desa yang jauh dari keramaian dan kekuasaan serta tidak rersediannya perumahan yang cukup untuk menampung para santri, dengan demikian diperlukan adanya pondok khusus. Ketiga, adanya timbal balik antara santri dengan kyai, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan kyai memperlakukan santri seperti anaknya sendiri juga. Sikap timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus.
Selain itu kelebihan dari model pondok ini adalah, terciptanya suasana lingkungan belajar yang kondusif, semangat belajar, keakraban antara santri dengan santri, juga antara santri dengan kyai atau guru, kemandirian, tanggung jawab dan pengawasan 24 jam baik dari antar santri ataupun dari kyai, serta masih banyak lagi keunggulan dari pendidikan model pondok. Maka tak heran pada akhir-akhir ini kemudian banyak bermunculan lembaga pendidikan formal yang meniru dengan lembaga pesantren yang didirikan oleh para kyai, hal ini setidak nya dapat dilihat dari munculnya istlilah boarding school (kelas asrama) pada beberapa lembaga pendidikan formal baik yang negeri ataupun swasta.
1. b. Masjid
Kedudukan msajid sebgai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi univesalisme dari sistem pendidikan Islam yang pernah dipraktekan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, telah terjadi proses yang berkesinambungan fungsi masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim. Tradisi penggunaan masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim diteruskan oleh para sahabat dan khalifah berikutnya. Dimanapun kaum muslimin berada masjid sebagai pilihan ideal bagi tempat pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian, kegiatan administrasi dan kultural, bahkan ketika belum ada madrasah dan sekolah yang menggunakan sistem klasikal, masjid merupakan tempat paling feresantatif untuk menyelenggarakan pendidikan.
Secara etimologis menurut M. Quraish Shihab, masjid berasal dari bahasa Arab ”sajada” yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan hormat dan takdzim. Sedangkan secara terminologis, masjid merupakan tempat aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah SWT.Masjid memiliki fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah lainnya, juga sebagai tempat pengajian terutama yang masih memakai metode sorogan dan wetonan (bandongan).
Posisi Masjid di kalangan pesantren mempunyai makna sendiri. Menurut KH. Abdurahman Wahid, masjid sebagai tempat untuk mendidik dan menggembleng santri agar lepas dari hawa nafsu, keberadaannya ditengah-tengah komplek pesantren adalah mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada pegunungan. Hal ini sebagai indikasi bahwa nilai-niali kultural masyarakat setempat dipertimbangkan untuk dilestarikan oleh pesantren.
1. c. Santri
Santri adalah istilah lain dari murid atau siswa yang mencari ilmu pada lembaga pendidikan formal, bedanya santri ini mencari ilmu pada pondok pesantren. (Adapun Asal muasal kata santri dapat dilihat pada halaman sebelumnya). Dalam dunia pesantren istilah santri terbagi menjadi dua kategori.
Pertama, santri mukim, yaitu santri yang berasal dari luar daerah pesantren yang hendak bermukim dalam mencari ilmu. Ketika hendak berniat untuk bermukim, santri tidak perli disibukan dengan membawa perlengkapan tidur seperti layaknya dirumah. Karena dalam lingkungan pesantren sudah ditanamkan kesederhanaan dan tanggungjawab. Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren terebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggungjawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga bertanggungjawab mengajar santri –santri yunior tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
Kedua, santri kalong, yaitu para santri yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren.mereka bolak-balik (ngelajo) dari rumahnya sendiri. Para santri kalong berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas lainnya. Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim daripada santri kalong, maka pesantren tersebut adalah pesantren besar. Dan sebaliknya, pesantren kecil memliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.
1. 2. Madrasah
Sejatinya madrasah dalam peta dunia pendidikan di Indonesia bukanlah suatu lembaga yang indegenous (pribumi). Setidaknya hal ini dapat dilihat dari kata ”madrasah” itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab. Secara harfiah, kata ini berarti atau setara maknanya dengan kata Indonesia, yakni ”sekolah”, (kata ini juga sebenarnya bukanlah kata asli Indonesia melainkan bahasa Inggris ”school ataupun scola, namun kata ini dialihkan dan di bakukan menjadi bahasa Indonesia.
Madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Maksudnya adalah, di madrasah inilah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Dengan demikian, secara teknis madsarah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madarasah ini mempunyai konotasi spesifik. Yakni sebagai lembaga pendidikan yang dalam proses pembelajaran dan pendidikannya menitikberatkan pada persoalan agama. Kata madrasah, yang secara harfiah identik dengan sekolah agama, lambat laun sesuai dengan perjalan peradaban bangsa mengalami perubahan dalam meteri pelajaran yang diberikan kepada anak peserta didiknya, madrasah dalam kegiatan pembelajarannya mulai menambah dengan mata pelajaran umum yang tidak melepaskan diri dari makna asalnya yang sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.
Pada dasarnya madrasah dengan pondok pesantren tidak jauh berbeda, masing-masing mempunyai model dan tujuan yang sama dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam catatan sejarah madrasah lahir dari lingkungan pondok pesantren, atau dengan kata lain madrasah adalah perluasan dan pengembangan pendidikan dari pondok pesantren yang mempunyai misi untuk mencerdaskan anak bangsa yang pada saat itu belum ada keinginan untuk tinggal atau menginap di pondok dalam proses belajarnya. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari para pendiri awal lembaga pendidikan Madrasah yang sebagian besar didirikan oleh para Ulama yang menjadi pengasuh dan sekaligus pendiri Pondok Pesantren pada lembaganya masing-masing. Diawali oleh Syekh Amrullah Ahmad (1907) di Padang mendirikan Madrasah, KH. Ahmad Dahlan (1912) di Yogyakarta, KH Wahab Hasbullah bersama KH Mansyur (1914) dan KH. Hasym asy’ari yang pada tahun 1919 mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang.
Instutisi ini memang lahir pada kurun awal abad 20 M, yang saat itu dapat dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Memasuki abad 20 M, banyak orang-orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia, apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam. Munculnya kesadaran kritis tersebut di kalangan umat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kiprah kaum terdidik lulusan pendidikan Mesir atau Timur Tengah yang telah banyak menyerap semangat pembaruan (modernisme) di sana, sekembalinya ke tanah air mereka melakukan pengembangan pendidikan barr yang lazim disebut madrasah dengan menerapkan metode dan kurikulum baru
Munculnya madrasah menurut para sejarawan pendidikan sebagai salah satu bentuk pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Alasannya adalah secara historis awal kemunculan madrasah dapat dilihat pada dua situasi; adanya pembaruan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda. Dari sini dapat diartikan bahwa munculnya madrasah mengandung kritik pada lembaga pendidikan sebelumnya, yakni pondok pesantren. Dapat dikatakan munculnya madrasah sebagai usaha untuk pembaruan dan menjembatani hubungan antara sistem tradisional (pesantren) dengan sistem pendidikan modern. Dan hal ini juga merupakan sebagai upaya penyempurnaan terhadap sistem pendidikan di pondok pesantren kearah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah yang umum. Maka tak heran belakangan banyak bermunculan madrasah dilingkungan pondok pesantren.
Selain bentuk dari kritikan atas pesantren, Berdirinya madrasah pada lingkungan pondok pesantren ini awal mulanya adalah untuk menampung keinginan dari para santri yang tidak hanya ingin mengaji semata namun juga ingin sekolah pada lembaga pendidikan formal yang kemudian pada akhirnya mendapatkan ijazah. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari beberapa wilayah di pulau jawa, madura, sumatera dan kalimantan yang banyak sekali bermunculan madrasah pada lingkungan pondok pesantren.
Banyaknya madrasah yang bermunculan pada lingkungan pondok pesantren ini, kemudian oleh Mukti Ali sering disebut dengan Madrasah dalam Pesantren. Kemudian dalam perkembanganya model madrasah yang seperti ini sering di istilahkan sebagai Madrasah Berbasis Pesantren.Maraknya madrasah pada lingkungan madrasah, menurut Steenbrink, tidak serta merta kemudian menghapus tradisi pesantren yang sudah ada dan bertahan lama, hal ini setidaknya dapat diliha dari tradisi-tradisi keagamaan, tradisi intelektual dan tradisi kepemimpinan khas pesantren masih banyak di temukan pada madrasah yang berada di lingkungan pesantren.
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural., oleh karenanya timbul kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini mempunyai citra ”eksklusif” dalam penilaian masyarakat. Karena dalam catatan sejarah, madarasah pernah menjadi lembaga pendidikan par excellence di dunia Islam, hal ini terjadi karena kedudukannya yang sedemikian prestisius di mata umat Islam. Melalui lembaga ini, dinamika intelektual-keagamaan mencapai puncaknya, kendati memang eksistensinya belum bisa terlepas sepenuhnya dari kepentingan politik penguasa.
Selanjutnya setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui Badan Pekerja Nasional Pusat (BPNIP) sebaga badan legislatif pada saat itu, dalam pengumumannya tertanggal 22 Desember 1945 (berita RI tahun II No. 4 dan 5 halaman 20 kolom 1) berbunyi, ” Dalam memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangnya diusahakan agar pengajaran di lamggar-langgar dan madrasah tetap berjalan terus dan di perpesat”. Setelah pengumuman di bacakan, BPNIP memberi masukan kepada pemerintah saat itu agar madrasah dan pondok pesantren mendapatkan perhatian dan bantuan materil dari pemerintah guna memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan pada lembaga tersebut, karena madrasah dan pondok pesantren pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya.
Guna merespon apa yang telah diumumkan dan masukan dari BPNIP kepada pemerintah yang terbentuk, maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah membentuk kementerian Agama, kementrian yang baru ini dalam sturktur organisasinya pada bagian C memuat tentang tugas pada bagian pendidikan adalah mengurusi masalah-masalah pendidikan agama di sekolah umum dan masalah-masalah pendidikan di sekolah agama (madrasah dan pondok pesantren). Dan tidak lama kemudian Mentri Agama yang pada saat itu di jabat oleh K.H. Wahid Hasym mengeluarkan peraturan Mentri Agama No. 1 tahun 1946 tentang pemberian bantuan kepada madrasah yang kemudian di sempurnakan dan terakihr dengan peraturan Mentri Agama no. 3 tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada Perguruan Agama Islam. Kemudian guna mengantisipasi adanya dikotomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum, maka Mentri Agama pada saat itu mengajurkan kepada semua madrasah untuk memasukan tujuh mata pelajaran di lingkungan madrasah, yaitu, pelajaran membaca dan menulis, ilmu hitung, bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi dan olah raga.
Kemudian guna memajukan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah dan mengembangkan sistem pendidikan nasional yang integral, kementrian Agama yang saat itu dijabat oleh Mukti Ali pada tahun 1975 mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Mentri Agama, Mentri Pendidikan dan Kebudayaan dan Mentri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1975 037/U/1975 dan No. 36 Tahun 1975 pada tanggal 24 Maret 1975 beserta Instruksi Presiden no. 15 Tahun 1974 pada sidang kabinet terbatas tertanggal 26 November 1974. adapun substansi dari SKB tersebut adalah,
Pertama, ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat. Kedua, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas. Dan Ketiga, siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Setelah melewati sejarah dan waktu yang panjang penuh dengan dinamika, akhirnya madrasah semakin mendapatkan tempat dan pengakuan dari pemerintah. Undang-undang sisdiknas tahun 2003 telah semakin mempertegas posisi dan kedudukan madrasah yang setara dengan sekolah umum lainnya. Oleh karenannya masyarakat ataupun pemerintah tidak boleh lagi mendikotomikan antara sekolah umum dengan sekolah agama, karena materi dan kebijakan-kebijakan yang biasanya melekat pada lembaga pendidikan umum seperti, UAN, KBK dan KTSP juga berlaku bagi madrasah
Kalau kita lihat dari sejarah sosial pendidikan, dinamika munculnya madrasah adalah merupakan manifestasi dari perubahan tuntutan sosial umat Islam dari waktu ke waktu untuk menuntut adanya kualitas pendidikan yang baik dan bermutu dengan tidak melepas pada akarnya yakni sistem pendidikan pondok pesantren. Sudah menjadi keharusan bagi pemerintah yang ada untuk peduli dan memperhatikan eksistensi dari lembaga pendidikan yang asli pribumi (Pondok Pesantren) dengan lembaga yang merupakan hasil dialektika antara pendidikan tradisional dengan pengaruh pendidikan modern barat, yakni madrasah, kita perlu jujur bahwa keberadaan lembaga pendidikan Islam ini sampai sekarang masih tergolong kelas rendahan dengan mutu dan kualitas yang jauh berbeda dengan lembaga pendidikan umum. Ia harus mendapat dukungan penuh dari pelbagai sumber, terutama pemerintah yang dalam pemberian dukungannya harus steril dari aroma politik dan ekonomi, agar lembaga pendidikan Islam ini bisa terus eksis mendampingi dan mengawal perjalanan bangsa pada kemudian harinya.
1. Sekolah Islam Terpadu
sekolah Islam dalam memformulakan pemahaman dan pemikirannya sehingga melahirkan kultur yang mengadabkan manusia. Sekolah Islam mempunyai reputasi tersendiri sebagai lembaga yang bercirikan agama Islam. Pertama, sebagai lembaga pendidikan. Kedua, sebagai lembaga lembaga sosial kemasyarakatan.
sekolah Islam di sini dianggap sebagai lambang permanensies seorang kiyai di komunitas, atau daerah tertentu. sekolah Islam sangat dikagumi karena pandai merubah perilaku masyarakat, memotivasi, atau melakukan perubahan-perubahan. sekolah Islam di Indonesia selalu melakukan terobosan-terobosan guna mempertahankan eksitensinya. ada tiga hal pembaharuan sekolah islam terpadu, yaitu:
1. Usaha menyempurnakan sistem pendidikan pesantren.
2. Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat.
3. Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.

 kelebihan pesantren
1. mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya.
2. Semua materi yg diajarkan dipesantren ini sepenuh bersifat keagamaan yg bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yg ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
3. pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi sebagai sub ordinat yg bergerak pada wilayah dan domaian pendidikan hati yg lebih menekankan pada aspek “afektif pendidikan “ atau “atticude pendidikan” .
4. pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yg memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral baik kognitif (knowlagde) afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill).
5. pesantren tidak menggunakan teori pembanguan seperti yang digunakan pemerintah dan lebih pada gerakan yang dilandaskan pada amal shaleh.
 kekurangan pesantren
1. Di Pesantren belum banyak yg mampu merumuskan visi misi dan tujuan pendidikan secara sistimatik yg tertuang dalam program kerja yg jelas. Sehingga tahapan pencapaian tujuan juga cenderung bersifat alamiyah.
2. System kepeminpinan sentralistik yg tak sepenuh hilang sehingga acapkali mengganggu lancar mekanisme kerja kolektif padahal banyak perubahan yg tak mungkin tertangani oleh satu orang.
3. Dalam merespon perubahan cenderung sangat lamban konsep “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak padahal ibarat orang naik tangga ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yg bawah kaki satu melayang layang diudara bisa jadi terpeleset atau jatuh itu resiko bila takut menghadapi resiko dia tak akan pernah beranjak dari tangga terbawah.
4. Sistem pengajaran kurang efesien demokratis dan variatif sehingga cepat memunculkan kejenuhan pada peserta didik. Dsb.
 Kelemahan Madrasah
1. paradigma pendidikan madrasah yang masih konvensional dan cenderung ekslusif bukannya inklusif.
2. kurangnya perencanaan organisasi madrasah.
3. pendidikan madrasah mementingkan pikiran vertikal di atas literal.
4. Penekanan yang terlalu berlebihan pada ilmu sebagai produk final, bukan pada proses metodologinya.
 Kelebihan Madrasah
1. Kurikulum di madrasah, dibekali oleh kegiatan yang berorientasi pada pembentukan sikap, moral, mental, perilaku, dan skill.
2. Karena ia telah berhasil melahirkan peserta didik yang memiliki budi pekerti luhur serta kesadaran dan pengamalan ajaran agama yang lebih tinggi.
3. Madrasah mampu menghasilkan peserta didik (output) yang memiliki iman dan taqwa serta sekaligus memiliki akses kepada ilmu pengetahuan dan teknologi atau minimal memiliki pengetahuan dan keterampilan tertentu yang diharapkan benar-benar bermanfaat di tengah masyarakat.
 kelebihan sekolah Islam terpadu
1. Banyaknya siswa lebih sedikit, jadi siswa bisa lebih terkontrol.
2. Satu kelas dengan siswa yang lebih sedikit dipegang oleh dua orang guru.
3. Untuk sekolah Islam Terpadu dapat ditanamkan nilai-nilai agama Islam.
4. Memiliki lebih banyak fasilitas.

 kekurangan sekolah islam terpadu
1. Penekanan yang terlalu berlebihan pada ilmu sebagai produk final, bukan pada proses metodologinya.
2. paradigma pendidikan madrasah yang masih konvensional dan cenderung ekslusif bukannya inklusif.
3. pendidikan madrasah mementingkan pikiran vertikal di atas literal.
Lembaga pendidikan islam yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim pada saat ini adalah lembaga pndidikan islam seperti madrasah, karena Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Di dalam salah satu diktum surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri) disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah umum, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Aktivitas yang berorientasi pada tujuan, perlu dicapai melalui jalan menetapkan hubungan tertentu antara sumber daya yang tersedia (sumber daya material dan moneter).
Penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan(sekarang Departemen Pendidikan Nasional). Secara yuridis, keberadaan madrasah dijamin oleh undang-undang SKB tiga menteri (menag, Mendikbud dan Mendagri) Tahun 1975 kedudukan madrasah sama dan sejajar dengan sekolah formal lainnya. Demikian juga dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 ditegaskan ulang bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Kurikulum yang digunakan pun secara umum mengacu kepada kurikulum Dinas dan ditambah kurikulum agama yang dikeluarkan oleh Depag. Oleh karena itu secara teoritis, madrasah seharusnya mampu memberikan nilai lebih bagi para siswanya dibanding sekolah umum.
B. Kesimpulan
Berdasarkan amanat UUD 45 (Pasal 31) setiap rakyat Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak, pemerintah selaku pejabat yang dipilih oleh rakyat dibebankan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional. Guna menjalankan apa yang menjadi amanat UUD 45, maka pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan melalui lembaga pendidikan baik lembaga yang dikelola oleh pemerintah atau dikelola oleh yayasan yang masih tetap berada dalam kordinasi pemerintah.
Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan sama namun berbeda dalam pengelolaannya dan masing-masing mempunyai ciri khas. Ditengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan yang ada, tidak sedikit terjadi persaingan diantara lembaga pendidikan yang ada.
Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan asli Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya, karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader Ulama yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan al hadis secara baik dan benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut KH. Abdurahman Wahid bahwa tradisi keilmuan pesantren tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual yang terjadi pada sepanjang sejarah berkembang dan meluasnya Islam.
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural. oleh karenanya timbul kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini mempunyai citra ”eksklusif” dalam penilaian masyarakat. Karena dalam catatan sejarah, madarasah pernah menjadi lembaga pendidikan par excellence di dunia Islam.
Dengan kehadiran ketiga lembaga pendidika islam tersebut, maka kita dapat menuntut ilmu dengan baik. Agama islam sangat menghargai orang-orang yang berilmu pengetahuan, sehingga hanya mereka pantas mencapai taraf ketinggian dan keutuhan hidup. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Mujadilah: 11
                                
11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa manusia itu untuk dapat menentukan status manusia sebagaimana mestinya adalah harus mendapatkan pendidikan.
حق الوالد على الولد أن يحسن اسمه وأدبه وأن يعلمه الكتابة والسباحة والرماية
وأن لا يرزقه الا طيبا وأن يزوجه إذا أدرك.
“Kewajiban orang tua kepada anaknya adalah member nama yang baik, mendidik sopan santun dan mengajari tulis menulis, renang, memanah, member makan dengan makanan yang baik serta mengawinkannya apabila ia telah mencapai dewasa”.

Islam mengajarkan bahwa anak itu membawa berbagai potensi yang selanjutnya apabila potensi tersebut dididik dan dikembangkan ia akan menjadi manusia yang secara fisik-fisik dan mental yang memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

My link

Thanks